Libia dalam "Bebalisme" Khadafy
Pasca Tunisia dan Mesir, virus revolusi di Timur Tengah (Middle East)
semakin menjalar ke negara-negara despotik dan anti-demokratik lainnya.
Libia yang berbatasan dengan Tunisia adalah ekstensi dari revolusioner
negara yang dikecam masyarakatnya karena ulah rezim tak simpatik, yang
mendistorsi hak-hak publik, bahkan menafikan kemiskinan dan pengangguran
yang sudah mengakar di negeri tersebut.
Bedanya, jika di Mesir dan Tunisia, rezim masih tergolong humanistik
dalam menyikapi dan menindak para demonstran. Di Libia, jalur kekerasan
dan destruktif terasa lebih dihalalkan bahkan dilegalkan oleh militer
pengikut setia rezim Moamar Khadafi. Ironisnya, Khadafi berikrar akan
tetap bertahan di negaranya seberat apa pun ancaman para pendemo, bahkan
akan menindak dengan sangat keras para penentangnya.
Dalam sebuah tayangan mengerikan yang dirilis kantor berita Reuters,
mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan sekitar Benghazi, tempat
terkonsentrasinya massa kontra-rezim saat ini. Dengan berlumur darah dan
tangan yang terikat ke belakang, puluhan mayat tersebut dibiarkan
seolah sesuatu yang biasa saja. Bukan pelanggaran yang patut diwaspadai
oleh barisan rezim Khadafi, bahkan seakan meniadakan kecaman keras dari
dunia internasional mengenai respons kekerasan yang diberlakukan
Khadafi.
Merujuk dari itu, laiknya pas ucapan Raja Louis XIV, l'etat c'est moi
(negara itu saya), untuk menggambarkan apa yang dilakukan Khadafi.
Karena, asumsinya seperti itu, sehingga wajar saja jika Khadafi
menganggap negara emboding dengan eksistensi dirinya, tak bisa
dipisahkan, laiknya Presiden Gabon yang baru setelah meninggal, berhenti
menjabat sebagai presiden. Khadafi begitu represif dan masif
mempertahankan pemerintahannya sekalipun menumbalkan rakyatnya sendiri.
Maka, lengkaplah ia jika disebut 'bebal', menganut sindrom Fir'aunisme,
dan mengutamakan kepentingannya di atas kepentingan rakyatnya.
Jika Mesir dan Tunisia yang baru saja direvolusi banyak dipengaruhi
oleh campur tangan asing, kondisi sosio-politik-ekonomi di Libia
meminimalisir bahkan menentang campur tangan asing di negaranya.
'Unwesternisasi' ini sudah berlaku cukup lama dan menimbulkan kegemasan
tersendiri bagi pemimpin-pemimpin Barat, khususnya AS. Ulah Libia yang
banyak menentang Barat inilah yang kerap mendapatkan sanksi badan-badan
dunia, seperti PBB terutama karena faktor AS yang memiliki kewenangan
superior di lembaga dunia tersebut.
Rezim Khadafi bisa dibilang cukup berhasil dalam menghalau setiap aksi
dan resistensi konstelasi politik di dalam negerinya. Sehingga, pantas
julukan Khadafi yang familiar dengan sebutan al-Za'im (sang pemimpin)
oleh rakyatnya itu karena sampai kini terbukti ia sebagai presiden
dengan masa terlama nomor dua sedunia (setelah Presiden Gabon, Suharto
ada di urutan nomor 4 di atas Mubarak yang menempati ranking 5).
Kesolidan dan superioritas kepemimpinannya pun teruji, terbukti dengan
selama masa kepemimpinannya di Libia nyaris tanpa ada kendala politik
yang berarti, tak ada oposisi.
Bahkan, Khadafi mampu menggagalkan usaha kudeta menterinya sendiri yang
terjadi pada tahun 1975, Umar al Muhaysi. Juga memblok upaya
menggulingkan kekuasannya yang dilakukan lewat parlemen dan aksi jalanan
oleh ribuan mahasiswa sekitar tahun 1976-an. Alih-alih menurunkan
khadafi, sebaliknya tumbal nyawa akibat keberingasan Khadafi kian tampak
menonjol dalam aksi yang terjadi 3 windu ke belakang itu.
Libia (di bawah Khadafi) tercatat sebagai penentang aktif Barat (mirip
dengan Iran pasca keruntuhan rezim Shah Levi yang digulingkan lewat
Ayatullah Khomenei tahun 1979). Tercatat beberapa kali Libia
berkonfrontasi dengan Barat karena ulahnya yang kontroversial, misalnya,
dengan melakukan nasionalisasi beberapa perusahaan asing (AS). Libia
juga dituduh mensponsori aktifisme terorisme global al-Qaeda, juga
menolak terdakwa untuk diadili di pengadilan internasional. Sehingga,
Libia dimasukkan ke dalam negara berkategori 'hitam' oleh AS. Di bawah
pemerintahan Bush, Libia mendapat julukan sebagai axis of evil.
Berubah Haluan
Deraan ekonomi rupanya telah menjadi alasan fundamental Khadafi hingga
kemudian bersikap lunak kepada Barat (AS). Sikap akomodatifnya bisa
dilihat dalam konteks kesanggupannya ikut menyelesaikan kasus-kasus
internasional yang melibatkan Libia (seperti terorisme) dan menyatakan
kesediaannya menghentikan program senjata massal.
Laiknya negara-negara di Timur Tengah lainnya yang dominan mengandalkan
hasil minyak bumi sebagai pendapatan utamanya, begitu juga dengan
Libia. Sumber daya yang tak bisa diperbarui ini lama-kelamaan
dikhawatirkan akan habis dan mengancam eksistensi ekonomi Libia jika tak
dikelola secara benar dan aplicable. Terbukti, kini produksi minyak
buminya makin merosot tajam sebagai dampak dari pengeboran yang
dilakukan dengan menggunakan cara-cara tradisional dan konvensional.
Terlebih, dunia internasional telah mengembargonya hingga membuat
kondisi ekonomi Libia semakin mendekati tubir kebangkrutan.
Diyakini para analis, hal itulah yang membuat Libia kemudian merubah
cara pandang dan sikapnya kepada Barat. Kebutuhan akan modernitas dan
investasi dari negara-negara maju menjadi sebab utama Khadafi semakin
'manut' akan keberadaan Barat yang memiliki kapital jauh diatas
kemampuan negaranya. Meski demikian, bukan Libia namanya jika serta
merta mengakomodasi gaya Barat, terutama dalam konsepsi demokratisasi
sebagai yang 'asli Barat'.
Dengan cermat dan cekatan, Khadafi mampu membawa Libia tidak lagi
anti-Barat namun juga tak membuat Barat leluasa mengobok-obok sistem
pemerintahan dan ekonomi Libia. Khadafi menolak demokrasi yang dibawa
Barat karena ia sadar dengan demokrasi kekusaannya akan dibatasi,
munculnya penentang rezim sangat potensial, serta kemungkinan mengusut
berbagai pelanggaran di masa kekuasannya ketika sudah pensiun sangat
mungkin dilakukan oleh penguasa Libia berikutnya.
Sebab itulah, sekuat mungkin Khadafi mencengkeram Libia dalam tirani
otoriter dan despotik khas negara-negara Timur Tengah untuk
mempertahankan kekuasaannya dalam jangka sangat lama (bahkan seumur
hidup). Juga untuk mengamankan keluarganya yang selanjutnya akan
meneruskan tampuk kepemimpinan pasca ia tak bisa lagi menjabat.
Sehingga, mempertahankan Libia tetap berada dalam genggamannya adalah
harga mati. Khadafi sendiri tampaknya ingin menjadi presiden seumur
hidup, tanpa oposisi. Ia memberikan jatah kepemimpinan kepada generasi
berikut dari dinasti Khadafi sendiri (keluarga atau kerabat terdekat),
serta menghindari diadili pasca ia tak lagi menjabat.
Pantas jika publik Libia kemudian bertanya, sampai kapan Libia dalam cengkeraman 'kebebalan' Khadafi? ***
Penulis adalah pemerhati politik Timur Tengah, alumnus
Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjajaran, Bandung.
Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Padjajaran, Bandung.
Komentar