Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
I. SEJARAH PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Di Eropa, ide pembangunan berkelanjutan pertama kali
dikembangkan di bidang kehutanan. Pada awal abad ke-13, beberapa aturan
tentang kesinambungn penggunaan kayu (Hukum kehutanan Nuremberg dari
1294). Masalah penebangan bersih (clear cut) tanpa memperhatikan
penghutanan kembali didiskusikan oleh Carlowitz, seorang bangsawan dari
Saxony dalam papernya: "Sylvicultura Oeconomica-instruksi untuk
penanaman alamiah dari pohon liar" (1713). Calrowitz meminta untuk
mempelajari "world’s book of nature".
Calrowitz menyatakan manusia harus meneliti aturan-aturan alam, dan
selalu, secara terus menerus dan "perpetuirlich". Carlowitz menyarankan
dalam bukunya beberapa hal pada konstruksi rumah seperti peningkatan
isolasi melawan panas dan dingin, ia meminta penggunaan tungku pelebur
dan kompor hemat energi, dan penghijauan terjadwal dengan penanaman dan
penebangan. Akhirnya, ia meminta "surrogata" atau "penggantian" fungsi
daripada kayu.
Berdasarkan ide-ide ini Georg Ludwig Hartig mempublikasikan
sebuah paper pada tahun 1795 yang berjudul, "Instructions for the
taxation and characterization of forests", untuk menggunakan kayu
seefektif mungkin, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan generasi yang
akan datang. Ide mengenai pembangunan berkelanjutan telah lahir. Akan
tetapi, tujuan ini sebenarnya lebih cenderung kepada ekonomi dan sosial
alamiah. Prinsip-prinsip awal mengenai pembangunan berkelanjutan hanya
dibatasi pada bidang kehutanan dan belum pada bidang lainnya.
Gema protes para pencinta lingkungan (environmentalist) mulai membahana
ketika Rachel Carson (1962), dalam buku fenomenalnya, Silent Spring,
menuturkan visi futuristiknya tentang ancaman pencemaran dan bahaya
nuklir bagi keselamatan penghuni planet bumi ini. Carson meramalkan
drama dramatik bahwa suatu saat kelak bakal terjadi musim yang
sunyi-sepi tanpa kicauan burung dan rona bunga warna-warni.
Pesimisme reflektif Carson tampaknya sangat menggugah
kepedulian umat manusia terhadap keselamatan bumi dari malapetaka dan
kehancuran, karena bertambah parahnya kerusakan lingkungan oleh ulah
manusia yang tidak terkendali. Tidak terkecuali, bahkan menjadi harapan
seluruh umat manusia, bahwa karya Carson turut mengilhami munculnya
kesadaran akan kelestarian lingkungan hidup di kalangan PBB. Maka, pada 5
Juni 1972, para pemimpin dunia menghadiri Konferensi PBB mengenai
lingkungan hidup di Stockholm, Swedia dan ikut menandatangani
kesepakatan untuk memperhatikan segi-segi lingkungan dalam pembangunan.
Selain itu, salah satu penyebab diselenggarakannya Konferensi Lingkungan
Hidup di Stockholm adalah tekanan negara maju yang khawatir pada
masalah lingkungan hidup, khususnya pencemaran.
Namun, dalam persiapannya tumbuh pengertian bahwa di negara sedang
berkembang masalah lingkungan hidup justru timbul karena kurangnya
pembangunan. Lahirlah konsep eco-development yang di Indonesia dikenal
dengan pembangunan berwawasan lingkungan. Artinya, pembangunan
diperlukan dan harus dilaksanakan. Tetapi pembangunan itu tak boleh
merusak lingkungan hidup.
Selain hal itu, Only one Earth (ada satu bumi) untuk semua
manusia, diperkenalkan. Motto itu sekaligus menjadi motto konferensi.
Selain itu, konferensi Stockholm menetapkan tanggal 5 Juni sebagai hari
lingkungan hidup se-dunia (World environment day), dan saat itu
dilahirkan pula resolusi pembentukan UNEP (United Nations Environmental
Program). Selanjutnya, UNEP merupakan motor pelaksana komitmen mengenai
lingkungan hidup dan telah melahirkan gagasan besar pembangunan
berkelanjutan (Sustainable Development).
Konferensi PBB di Stockholm tentang Lingkungan Hidup manusia yang
menghasilkan Deklarasi dan Pembentukan "United Nations Environment
Programme (UNEP) tahun 1972 telah mempengaruhi penyusunan GBHN 1973.
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN terutama Bab III
butir 10 merupakan kebijakan awal lingkungan hidup dalam pelaksanaan
pembangunan agar sumber-sumber alam Indonesia diusahakan secara
rasional. Hal ini mnegisyaratkan penggalian sumkber kekayaan alam harus
diusahakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dengan memperhitungkan
kebutuhan generasi mendatang.Kebijakan dalam GBHN itu memaksa Pemerintah
untuk membentuk Lembaga Pemerintah yang menangani lingkungan dan
membantu Presiden dalam merumuskan langkah konkrit dibidang lingkungan
hidup. Lembaga tersebut adalah Kantor Menteri Negara Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH).
Setelah sepuluh tahun konferensi Stockholm berselang, PBB kembali
menggelar konferensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di
Nairobi, Kenya. Pertemuan ini merupakan pertemuan wakil-wakil pemerintah
dalam Government Council UNEP. Pertemuan tersebut mengusulkan
pembentukan suatu komisi yang bertujuan melakukan kajian tentang arah
pembangunan didunia. Usul yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di
Nairobi ini dibawa kesidang umum PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk
WCED (World Comission on Environment and Development) yang diketuai oleh
Gro Harlem Brundtland. Komisi inilah yang melakukan pertemuan
diberbagai tempat dibelahan dunia, serta berdialog dengan berbagai
kalangan termasuk NGO. Komisi ini pula yang menghasilkan dokumen “Our
Common Future” pada tahun 1987, yang memuat analisis dan saran bagi
proses pembangunan berkelanjutan. Dalam dokumen itu diperkenalkan suatu
konsep baru yang disebut suatu konsep pembangunan berkelanjutan.
Aspek ekonomi ditambahkan pada aspek ekologi dan sosial
terdahulu, seperti dinyatakan oleh the Brundtland Report pada 1987.
Pembangunan berkelanjutan pertama kali didefinisikan tahun 1987 oleh
Komisi Dunia pada Lingkunan dan Pembangunan, ketuai oleh Gro Harlem
Bruntland, yang merupakan perdana menteri Norwegia pada saat itu.
Pada laporan akhir dari komisi itu yang berjudul "Masa Depan Kita
Bersama", atau disebut juga Brundtland-Report. Pembangunan berkelanjutan
didefinisikan sebagai suatu; Pembangunan yang sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi
yang akan datang menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan mereka. Ini berarti,
pembangunan kita harus selalu memperhatikan kebutuhan anak-cucu. Sumber
daya tidak boleh dihabiskan. Tidak boleh mewariskan lingkungan hidup
yang rusak. Rusaknya hutan mengakibatkan banjir dalam musim hujan dan
kekurangan air di musim kemarau serta laju erosi tanah yang tinggi yang
menurunkan kesuburan tanah. Contoh ini menunjukkan, pembangunan yang
menyebabkan kerusakan hutan akan mengurangi bahkan meniadakan kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kesejahteraan mereka
akan terganggu
Dengan kata lain, pembangunan adalah esensial untuk
pemenuhan kebutuhan manusia dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Pada saat yang sama pembangunan harus berlandaskan pada efisiensi dan
penggunaan lingkungan yang bertangungjawab dari seluruh sumberdaya
masyarakat yang langka: alam, manusia, dan sumberdaya ekonomi.
Beberapa kegiatan penting setelah Konferensi PBB di Stockholm tentang Lingkungan Hidup 1972:
1. Convention on International Trade in Endangered Species
(CITES) atau Konvensi PBB mengenai perdagangan Internasional Jenis-Jenis
Flora dan Fauna Terancam Punah merupakan tanggapan terhadap tindak
lanjut dari rekomendasi Konferensi Stockholm Nomor 99.3. CITES
ditetapkan pada suatu konferensi diplomatik di Washington, D.C. pada 3
Maret 1973 dan mulai diterapkan pada 1 Juli 1975. Misi dan tujuan CITES
adalah untuk menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan
di alam melalui sistem pengendalian jenis-jenis tumbuhan dan satwa,
serta produk-produknya secara internasional.
2. Setelah Konferensi Stockholm, problematika lingkungan hidup tidaklah
surut, bahkan semakin parah. Masalah lingkungan hidup terjadi karena
perilaku manusia selama ini telah mengubah keteraturan alam. Alam tidak
lagi sepenuhnya dapat berkompromi dengan kebutuhan manusia dalam
melangsungkan kehidupannya. Maka, kenestapaan manusia dengan mudah dapat
ditemui di banyak sudut muka bumi.
3. Tidak satu negarapun di muka bumi yang luput dari masalah
lingkungan, kendati dengan kadar dan magnitude yang berbeda. Pemanasan
global, kepunahan jenis tumbuhan dan satwa, degradasi lahan dan
deforestasi, meluasnya wabah penyakit, kekeringan dan banjir adalah
wujud penolakan alam terhadap tindakan destruktif manusia.
4. Masyarakat negara industri maupun negara yang sedang bergerak ke arah
industrialisasi terbelenggu dengan pola hidup konsumtif terhadap sumber
bahan baku tak terbarui. Misalnya penggunaan sumber energi yang berasal
dari fosil secara boros. Industrialisasi telah meningkatkan indeks
pencemaran di banyak tempat yang dampaknya luber melintasi batas negara.
Sementara, negara miskin lebih sering tidak mempunyai pilihan selain
memeras sumber daya alamnya untuk membayar utang luar negerinya.
5. Menyadari eskalasi masalah lingkungan, pada 1983 PBB
membentuk World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia
untuk Lingkungan dan Pembangunan) yang diketuai oleh Ny. Gro
Brundtland, Perdana Menteri Norwegia. Komisi ini menyelesaikan tugasnya
pada 1987 dengan menerbitkan laporan “Our Common Future” yang dikenal
dengan Laporan Brundtland. Tema laporan ini adalah sustainable
development (pembangunan berkelanjutan). Komisi ini mendefinisikan
pembangunan berkelanjutan sebagai suatu upaya yang mendorong tercapainya
kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya
pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan yang tinggi.
Inilah underlying concept pembangunan berkelanjutan yang hingga saat
ini terus berkembang mengikuti dinamika perubahan.
6. Awal 1980-an, keberadaan hutan tropis mulai diagendakan dalam dialog
global. Suatu proses negosiasi yang panjang telah berlangsung di bawah
naungan UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development).
Hasilnya: International Tropical Timber Agreement (ITTA) atau Perjanjian
Kayu Tropis Internasional. ITTA merupakan perjanjian multilateral
tentang komoditas yang diadopsi pada 18 November 1983 di Geneva dan
mulai diberlakukan pada 1 April 1985. ITTA melandasi pembentukan
Organisasi Internasional Kayu Tropis (International Tropical Timber
Organization/ITTO) pada 1986. Saat ini ITTO beranggotakan 58 negara,
yang terdiri dari 33 negara produsen dan 25 negara konsumen. Indonesia
termasuk tiga negara dengan vote terbesar (146) bersama Brazil (159) dan
Malaysia (103). Besarnya vote ini, antara lain ditentukan oleh luas
hutan dan volume ekspor negara anggota.
7. Fokus kegiatan ITTO adalah pengelolaan hutan berkelanjutan
(Sustainable Forest Management /SFM). ITTO merupakan forum dialog
multilateral untuk menciptakan harmonisasi kebijakan dan panduan guna
melestarikan persediaan kayu tropis di pasaran internasional, melalui
pelestarian sumber daya hutan tropis. Kegiatan ITTO selama periode
2002-2006 difokuskan pada enam sasaran sebagaimana tercantum dalam ITTO
Yokohama Action Plan yaitu: 1) Meningkatkan transparansi pasar kayu
internasional; 2) Promosi kayu tropis dari hutan yang dikelola secara
lestari; 3) Mendukung kegiatan untuk pengamanan sumber kayu tropis; 4)
Meningkatkan pengelolaan hutan berkelanjutan; 5) Meningkatkan
pengelolaan kayu tropis dari sumber yang lestari; dan 6) Meningkatkan
efisiensi industri pengolahan dan pemanfaatan kayu tropis secara
lestari.
8. ITTO telah menerbitkan sejumlah panduan (policy
documents) untuk meningkatkan pengelolaan hutan tropis dan konservasi
hutan, serta memberikan kegiatan kepada negara anggotanya untuk
menerapkan panduan tersebut dalam bentuk bantuan proyek. Dana
pelaksanaan proyek berasal dari negara-negara konsumen.
9. Pentingnya keberadaan organisasi ini tercermin dari adanya proses
perpanjangan ITTA 1983 menjadi ITTA 1994. Selanjutnya, ITTA 1994 yang
masa berlakunya akan berakhir pada 31 Desember 1996, kini sedang dalam
tahap perundingan untuk diperbarui. Proses perpanjangan ITTA 1994 telah
dilakukan melalui beberapa pertemuan pendahuluan, dimulai dari Sidang
Preparatory Committee/ PrepCom I (Panama, Mei 2003), Sidang PrepCom II
(Yokohama, November 2003), dan Pertemuan Friends of the Chair on the
Negotiations of a Successor Agreement to the ITTA, 1994” (Interlaken,
April 2004). Pertemuan Interlaken diharapkan dapat memuluskan proses
perundingan berikutnya.
10. Hasil Pertemuan Interlaken mengindikasikan adanya tiga
masalah utama yang akan menjadi perdebatan dalam proses perundingan
berikutnya, yaitu Sidang UNCTAD for the Negotiation of a Successor
Agreement to the ITTA, 1994 (Geneva, Juli 2004). Ketiga masalah tersebut
adalah: 1) ruang lingkup ITTO; 2) struktur organisasi; dan 3) masalah
keuangan. Banyak negara anggota, khususnya kelompok konsumen yang
menghendaki agar ruang lingkup ITTO diperluas. Kelompok konsumen
menghendaki agar ITTO tidak hanya menangani kayu tropis, melainkan
mencakup pula produk-produk non-kayu hutan tropis serta jasa lingkungan.
Dalam struktur organisasi, masalah yang akan menjadi perdebatan adalah
pembentukan executive board, yang disinyalir dapat mengurangi
transparansi pengambilan keputusan (dapat berarti mengambil alih tugas
Dewan ITTO). Sedangkan dalam hal keuangan, menyangkut penetapan
mekanisme kontribusi sukarela yang akan menjadi perdebatan di antara
kelompok produsen dan konsumen. Kondisi keuangan ITTO yang sangat
bergantung pada kontribusi sukarela, selama ini sebagian besar (90%)
berasal dari Jepang, Swiss dan Amerika Serikat.
Setelah Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Stockholm, tepatnya dua
dasawarsa kemudian, 3-14 Juni 1992, Program Lingkungan Hidup PBB (UNEF)
menyelenggarakan KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil,
diikuti ribuan peserta termasuk sekitar 100 kepala negara. Dengan Care
and Share, peduli dan berbagi, sebagai semboyan abad 21. Konferensi itu
berakhir dengan ditandatanganinya Piagam Bumi (Earth Charter) oleh lebih
dari 100 kepala negara.
Adapun agenda utama Peringatan KTT Rio de Janeiro adalah refleksi dan
peninjauan kembali atas pelaksanaan Agenda 21 mengenai pembangunan
berkelanjutan yang disepakati negara-negara peserta pada KTT tersebut.
Dan yang menjadi fokus sorotan adalah sejauh mana keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di masing-masing negara
dan di tingkat global pasca-Rio de Janeiro.
Dengan adanya KTT Rio de Janeiro masyarakat dunia hendaknya
semakin menyadari pentingnya lingkungan hidup yang memiliki nilai
strategis, baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Bahwa kita
semua memiliki hanya satu bumi dan karena itu, semua berkepentingan dan
bertanggung jawab atas keselamatan bumi yang satu ini. Artinya,
lingkungan sudah menjadi masalah global, bukan lagi persoalan negara
sedang berkembang saja atau negara maju saja, atau Negara Utara saja
atau Negara Selatan saja. Itu tercemin dari sejak KTT di Rio de Janeiro
dengan tema sentralnya pada waktu itu, yakni untuk menyelamatkan
lingkungan dan bumi, memecahkan persoalan dan untuk masa depan bersama,
selalu dilakukan secara kemitraan. Atau, secara prinsipnya, setidaknya
ada empat masalah lingkungan global dalam KTT Rio de Janeiro ketika itu,
yakni prinsip dasar pembangunan berkelanjutan, transfer teknologi, dana
tambahan pengelolaan lingkungan global dan kelembagaan.
Dan bagi Indonesia hingga kini selalu mengharapkan berbagai agenda
fundamental dan komprehensif dalam kaitan dengan krisis lingkungan yang
tengah kita hadapi saat ini dan masa yang akan datang, yang berbarengan
dengan kesulitan yang kita hadapi seperti membayar utang luar negeri.
Meskipun demikian, sejak peringatan 5 Tahun KTT Rio de
Janeiro di New York, tahun 1972, telah diakui oleh negara di dunia,
paradigma pembangunan berkelanjutan yang disepakati di Rio de Janeiro
ternyata belum konsisten dilaksanakan. Masih juga ada beberapa kendala
dalam upaya pemecahan masalah lingkungan global tersebut, antara lain
belum sepenuhnya dihayati semangat kemitraan untuk diaktualisasikan
dalam tindakan nyata. Dari segi prinsip pembangunan berkelanjutan,
negara maju menginginkan Earth Charter hanya memuat prinsip dasar
pembangunan berkelanjutan secara umum dan setingkat. Tetapi, negara
sedang berkembang menghendaki hal itu memuat komitmen politis konkret
tentang masalah lingkungan dan pembangunan.
Alasan atau kehendak negara sedang berkembang ini masuk akal sebab
hutan-hutan di negara-negara sedang berkembang akan dijadikan ''warisan
alam'' untuk dipakai sebagai paru-paru dunia. Ini bagi negara sedang
berkembang berarti pengorbanan terhadap hak membangun dan kedaulatannya.
Ada beban psikis finansial di dalamnya. Sebab, dalam pertemuan di New
York, negara maju hanya bersedia menyiapkan dana 20 persen dari 625
miliar dolar Amerika Serikat program dana pemeliharaan lingkungan global
per tahun.
Dan selanjutnya, ternyata bahwa negara maju selalu menekan
negara sedang berkembang untuk memelihara lingkungan tanpa membantu
mengatasinya bahkan ada yang mengaitkannya dengan bantuan luar
negerinya. Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan
global, efek rumah kaca, menipisnya lapisan ozon dan sebagainya?
Bagaimana seharusnya kita lakukan saat ini dan yang akan datang?
Indonesia merupakan negara pemilik hutan ''warisan'' di daerah
katulistiwa sebagai paru-paru dunia, sekaligus merupakan salah satu dari
empat negara yang punya flora dan fauna terbesar di dunia, di samping
Brasil, Kolumbia, dan Meksiko, tentu memiliki suara ''emas'' yang layak
didengar atau sangat ditunggu negara-negara lain setiap kali dunia
mempersoalkan masalah lingkungan hidup.
Perlu dikemukakan bahwa kita memiliki persoalan yang sangat
serius dalam kaitan dengan penggunaan sumber daya alam dan utang luar
negeri Indonesia yang jumlahnya sangat fantastis. Yang harus menjadi
perhatian bersama bahwa Indonesia, juga negara-negara sedang berkembang
lainnya yang memiliki utang luar negeri, tentu mengandalkan pengelolaan
bahkan pengeksploitasi sumber daya alamnya untuk membayar utang dan
bunga pinjaman. Lama-kelamaan, alam dengan daya-dayanya akan terkuras
habis hanya untuk membayar utang luar negerinya.
Untuk itu, Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lainnya perlu
mendesak negara-negara maju agar segera dilakukan sebuah komitmen baru
menyangkut penghapusan utang luar negeri negara-negara berkembang. Ini
penting untuk meminimalisasi pengeksploitasi hutan secara tidak
terkendali oleh negara-negara sedang berkembang sang pemilik hutan
warisan paru-paru dunia untuk membayar utangnya itu. Sebab,
pengeksploitasian hutan yang terjadi di negara-negara sedang berkembang
pun dilakukan pula oleh perusahaan-perusahaan multinasional milik
negara-negara maju yang telah lama beroperasi di sana. Negara-negara
maju tidak bisa cuci tangan saja dan hanya menuduh negara-negara sedang
berkembang sebagai pelaku tunggal perusakan lingkungan.
Selama konperensi tersebut, pemimpin dunia meratifikasikan
lima instrumen mayor, deklarasi Rio, agenda 21, konvensi kerangka
perubahan iklim, konvensi keanekaragaman hayati, dan pernyataan
prinsip-prinsip kehutanan. Semua dokumen sudah disepakati sebelum Rio,
kecuali agenda 21.
Hasil-hasil dari KTT bumi adalah :
a. Deklarasi Rio, Satu rangkaian dari 27 prinsip universal
yang bisa membantu mengarahkan tanggung jawab dasar gerakan
internasional terhadap lingkungan dan ekonomi.
b. Konvensi Perubahan Iklim ( FCCC ). Kesepakatan Hukum yang telah
mengikat telah ditandatangani oleh 152 pemerintah pada saat komperensi
berlangsung. Tujuan pokok Konvensi ini adalah “ Stabilisasi konsentrasi
gas rumah kaca di atmosfir pada tingkat yang telah mencegah terjadinya
intervensi yang membahayakan oleh manusia terhadap system Iklim”
c. Konvensi Keanekaragaman hayati. Kesepakatan hukum yang
mengikat telah ditandatangani sejauh ini oleh 168 negara. Menguraikan
langkah – langkah kedepan dalam pelestarian keragaman hayati dan
pemanfaatan berkelanjutan komponen – komponennya, serta pembagian
keuntungan yang adil dan pantas dari penggunaan sumber daya genetic.
d. Pernyataan Prinsip – Prinsip Kehutanan. Prinsip – prinsip yang telah
mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan.
Dirancang untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip – prinsip ini
seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai
pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.
e. Komisi Pembangunan Berkelanjutan Commission on
Sustainable Development ( CSD ). Komisi ini di bentuk pada bulan
desember 1992. Tujuan CSD adalah untuk memastikan keefektifan tindak
lanjut KTT bumi. Mengawasi serta melaporkan pelaksanaan kesepakatan
KOPERENSI Bumi baik di tingkat local , nasional, maupun internasional.
CSD adalah komisi Funsional Dewan Ekonomi dan Sosial PBB ( ECOSOC ) yang
beranggotakan 53 negara. Telah disepakati bahwa tinjauan lima tahunan
majelis Umum PBB tentang Konperensi Bumi dan Agenda 21 harus dibuat pada
bulan Juni 1997, dalam sidang istimewa rapat Earth Summit + 5 atau Rio +
5 di New York.
Salah satu hasil KTT Bumi lainnya adalah Agenda 21, yang merupakan
sebuah program luas mengenai gerakan yang mengupayakan cara – cara baru
dalam berinvestasi di masa depan untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan Global di abad 21. Rekomendasi – rekomendasi Agenda 21 ini
meliputi cara – cara baru dalam mendidik, memelihara sumber daya alam,
dan berpartisipasi untuk merancang sebuah ekonomi yangberkelanjutan.
Tujuan keseluruhan Agenda 21 ini adalah untuk menciptakan keselamatan,
keamanan, dan hidup yang bermartabat.
Pokok – pokok cakupan Agenda 21 yang merupakan program aksi pembangunan berkelanjutan adalah :
a. Social and Economic Dimension yang meliputi (1) kerjasama
internasional untuk mempercepat pembangunan berkelanjutan negara
berkembangserta kebijakan domestiknya. (2) Memerangi kemiskinan, (3)
Merabah pola konsumsi, (4) dinamika demografi dan sustainibilitasi, (5)
Proteksi dan peningkatan kesehatan manusia , (6) Promosi pengembangan
pemukuman manusia berkelanjutan, (7) Integrasi lingkungan dan
pembangunan dalam pengambilan keputusan.
b. Conservation and Manajement of Resources for Depalopment
yang meliputi : (8) Proteksi atmosfir, (9) Pendekatan terintegrasi dalam
perencanaan dan manajemen sumber daya lahan, (10) Memerangi
deforestasi, (11) Pengelolaan ekosistem yang rawan, memerangi
desertifikasi dan kekeringan, (12) Pengelolaan ekosistem yang rawan,
pengembangan pegunungan berkelanjutan, (13) mempromosikan pertanian yang
berkelanjutan dan pembangunan pedesaan, (14) konservasi keanekaragaman
hayati, (15) pengelolaan bioteknologi berwawasan lingkungan, (16)
Proteksi samudra, keaneka ragam klautan, termasuk lautan tertutup dan
semi – tertutup,kawasan pesisir serta proteksi dan penggunaan secara
rasional berikut pengembangan sumber alam hayati, (17) proteksi kualitas
dan Supply air, (18) pengelolaan kimia toksik dan bahaya,(19)
Pengelolan limbah beracun dengan wawasan lingkungan, termasuk pencegahan
lalu lintas internasional secara illegal dalam limbah beracun dan
berbahaya, (20) Pengelolaan limbah padat dan limbah cair berwawasan
lingkungan, (21) pengelolaan yang aman dan berwawasan lingkungan dari
limbah radio aktif.
c. Strengthening the Role of major Group yang meliputi (22) aksi global
bagi perempuan mengembangkan pembangunan yang berkelanjutan dan
berkeadilan, (23) anak dan pemuda dalam pembangunan berkelanjutan, (24)
mengakui dan memberdayakan peranan organisasi non-pemerintah : mitra
dalam pembangunan berkelanjutan, (26) Prakarsa otoritas local menunjang
Agenda 21, (27) Memberdayakan peranan buruh serta serikat buruhnya, (28)
memberdayakan peranan bisnis dan industri, (29) Komunitas ilmuwan dan
teknologi,(30) memberdayakan peranan petani.
d. MEANS OF Implementation mencaup: (31) sumber keuangan dan
mekanismenya, (32) Pengalihan teknologi berwawasan lingkungan,
kerjasama serta pengembangan kapasitas, (33) ilmu pengetahuan bagi
pembangunan berkelanjutan, (34) mempromosikan pendidikan, kesadaran
publik dan latihan, (35) Mekanisme nasional dan kerjasama internasional
untuk mengembangkan kapasitas dalam negara berkembang, (36) Pengaturan
kelembagaan internasional,instrumental hukum dan mekanisme
internasional, (37) Informasi bagi pengambilan keputusan.
Untuk konteks Indonesia, Dokumen Agenda 21 nasional diselesaikan akhir
tahun 1996. dokumen itu di capai lewat proyek pembangunan kapasitas
pasca konperensi lingkungan hidup dan pembangunan PBB (UNCED), dilakukan
oleh Menteri Lingkungan Hidup, dengan dukungan dari Program Pembangunan
PBB (UNDP). Ada 22 Konsultan nasional yang terlibat dalam proyek ini.
Proyek ini juga melibatkan berbagai pihak, antara lain pegawai
pemerintah, ORNOP, Akademika, dan wakil masyrakat umum. Dokumen berisi
rekomendasi untuk pembangunan berkelanjutan sampai tahun 2020 untuk
setiap sector pembangunan, termasuk pelayanan masyarakat dan partisipasi
masyarakat.
Cakupan Agenda 21 Nasional yang dikembangkan di Indonesia dadalah :
a. Pelayanan masyarakat : (1) Pengentasan Kemiskinan ; (2) Perubahan
pola konsumsi;(3) Dinamika penelitian;(4) Pengelolaan dan peningkatan
kesehatan;(5) Pengembangan perumahan dan pemukiman;(6) Insumen Ekonomi
serta neraca ekonomi dan lingkungan terpadu.
b. Pengelolaan limbah : (7) Perlindungan Atmosfir ; ( 8)
Pengelolaan limbah bahan beracun dan berbahaya; (9) Pengelolaan bahan
kimia beracun ; (10) Pengelolaan limbah radioaktif ;(11) Pengelolan
limbah padat dan cair ;
c. Pengelolaan sumber daya tanah ; (12) Penataan sumber daya tanah ;
(13) Pengelolaan hutan ; (14) Pengembangan pertanian; ( 15) Pengembangan
pedesaan; (16) Pengelolaan sumber daya air ;
d. Pengelolaan Sumber daya alam ; (17) Konservasi keaneka
ragaman hayati; (18) Pengembangan bioteknologi; (19) Pengelolaan terpadu
wilayah pesisir dan lautan.
Dua puluh tahun setelah KTT Bumi tahun 1992, di mana berbagai negara
telah mengadopsi Agenda 21, PBB menyatukan kembali para pemerintah,
institusi internasional dan berbagai kelompok masyarakat lainnya.
Selama sembilan hari mulai 13 – 22 Juni 2012, ribuan acara
diadakan menjelang dan selama Konferensi Tingkat Tinggi tentang
Pembangunan Berkelanjutan, di Rio de Janeiro, Brazil, yang selanjutnya
lebih dikenal dengan KTT Rio+20, yang merupakan konferensi PBB terbesar
yang pernah diselenggarakan dengan jumlah peserta sebanyak 29.373 orang
yang terdiri dari para pemimpin Pemerintah, bisnis dan organisasi
kemasyarakatan, pejabat PBB, akademisi, wartawan dan masyarakat umum
(Delegasi sekitar 12.000 orang, LSM dan Kelompok Utama 10.047 orang dan
Media 3.989 orang).
KTT Pembangunan Berkelanjutan atau KTT Rio+20 diikuti oleh 191 negara
yang dihadiri 105 Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dan 487 menteri.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo
Bambang Yudhoyono, didampingi oleh sejumlah Menteri. Kehadiran Presiden
RI dan sejumlah Menteri menunjukkan keseriusan Indonesia untuk
menerapkan pembangunan berkelanjutan, termasuk kesiapan peran
kepemimpinan Indonesia dalam agenda global.
KTT Rio+20 menyepakati Dokumen The Future We Want yang
menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat
global, regional, dan nasional. Dokumen memuat kesepahaman pandangan
terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia (common vision) dan
penguatan komitmen untuk menuju pembangunan berkelanjutan (renewing
political commitment). Dokumen ini memperkuat penerapan Rio Declaration
1992 dan Johannesburg Plan of Implementation 2002.
Dalam dokumen The Future We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama bagi
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) Green Economy in the
context of sustainable development and poverty eradication, (ii)
pengembangan kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan tingkat
global (Institutional Framework for Sustainable Development), serta
(iii) kerangka aksi dan instrumen pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
(Framework for Action and Means of Implementation). Kerangka aksi
tersebut termasuk penyusunan Sustainable Development Goals
(SDGs)post-2015 yang mencakup 3 pilar pembangunan berkelanjutan secara
inklusif, yang terinspirasi dari penerapan Millennium Development Goals
(MDGs).
Bagi Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam
pelaksanaan rencana pembangunan nasional secara konkrit, termasuk dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019, dan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2005-2025). Untuk itu, Kementerian
Lingkungan Hidup, instansi Pemerintah terkait dan seluruh pemangku
kepentingan akan menyusun langkah tindak lanjut yang lebih konkrit untuk
pelaksanaan kebijakan di lingkup masing-masing.
Kebijakan Pemerintah Indonesia “pro-growth, pro-poor, pro-job,
pro-environment” pada dasarnya telah selaras dengan dokumen The Future
We Want. Dalam sesi debat umum, Presiden RI menekankan bahwa untuk
mewujudkan tujuan utama pembangunan berkelanjutan yaitu pengentasan
kemiskinan, diperlukan tidak hanya sekedar pertumbuhan ekonomi, namun
pertumbuhan yang berkelanjutan dengan pemerataan atau “Sustainable
Growth with Equity”.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, mengatakan, ”Hasil
KTT Rio+20 harus ditindaklanjuti dengan aksi konkrit yang bermanfaat
bagi peningkatan taraf hidup masyarakat (people-centered development).
Salah satu keuntungan yang dapat diperoleh oleh masyarakat dalam waktu
dekat ini adalah pengembangan barang dan jasa yang ramah lingkungan,
yang memungkinkan masyarakat untuk melaksanakan pola hidup hijau (green
lifestyle). Barang dan jasa yang ramah lingkungan tersebut diharapkan
akan memperkuat ekonomi domestik dan mendorong pelaku usaha melakukan
produksi hijau.”
Rio+20 ini menghasilkan lebih dari US$ 513 Milyar yang
dialokasikan dalam komitmen untuk pembangunan berkelanjutan, termasuk di
bidang energi, transportasi, ekonomi hijau, pengurangan bencana,
kekeringan, air, hutan dan pertanian. Selain itu terbangun sebanyak 719
komitmen sukarela untuk pembangunan berkelanjutan oleh pemerintah, dunia
usaha, kelompok masyarakat sipil, universitas dan lain-lain.
II. PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Istilah pembangunan menurut Todaro (1998), pada hakikatnya merupakan
cerminan proses terjadinya perubahan sosial suatu masyarakat, tanpa
mengabaikan keragamaan kebutuhan dasar dan keinginaan individual maupun
kelompok sosial atau institusi yang ada di dalamnya untuk mencapai
kondisi kehidupan yang lebih baik. Sedangkan istilah pembangunan
berkelanjutan atau sustainable development menurut Brundtland Report
dari PBB (1987) adalah proses pembangunan yang mencakup tidak hanya
wilayah (lahan, kota) tetapi juga semua unsur, bisnis, masyarakat, dan
sebagainya yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan".
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Brundtland Commission Per-serikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1987 yang menjadi tonggak pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) dirumuskan pengertian
pembangunan berkelanjutan sebagai: “pembangunan yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengabaikan hak generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan mereka” ("development that meets the needs of
the present without compromising the ability of future generations to
meet their own need")
Menurut Otto Sumarwoto (dalam Sugandhy dan Hakim, 2007: 21),
pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai “Perubahan positif
sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial di mana
masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan
kebijakan, perencanaan, dan proses pembelajaran sosial yang terpadu,
viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui
pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya”.
Selanjutnya, menurut Prof. Dr. Emil Salim menyatakan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) diartikan sebagai suatu proses
pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam dan sumber
daya manusia dengan menyerasikan sumber alam dan manusia dalam
pembangunan. Menurut Salim, konsep pembangunan berkelanjutan ini
didasari oleh lima ide pokok besar, yaitu sebagai berikut:
”Pertama, proses pembangunan mesti berlangsung secara
berlanjut, terus-menerus, dan kontinyu, yang ditopang oleh sumber alam,
kualitas lingkungan, dan manusia yang berkembang secara berlanjut pula.
Kedua, sumber alam (terutama udara, air, dan tanah) memiliki ambang
batas, di mana penggunaannya akan menciutkan kuantitas, dan kualitasnya.
Ketiga, kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan kualitas hidup.
Keempat, bahwa pola penggunaan sumber alam saat ini mestinya tidak
menutup kemungkinan memilih opsi atau pilihan lain di masa depan. Dan
kelima, pembangunan berkelanjutan mengandaikan solidaritas
transgenerasi, sehingga kesejahteraan bagi generasi sekarang tidak
mengurangi kemungkinan bagi generasi selanjutnya untuk meningkatkan
kesejahteraannya pula”.
Menurut Emil Salim untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan
dibutuhkan pendekatan ekosistem dengan melihat interdepedensi dari
setiap komponen ekosistem. Agar keberlanjutan tetap terjaga harus ada
komitmen setiap komponen penyangga kehidupan dan campur tangan
pemerintah dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat.
Dunia usaha yang selama ini dituduh sebagai pelaku yang
menimbul kan kerusakan dan pencemaran harus dipahamkan akan tangung
jawabnya terhadap lingkungan yang dapat diwujudkan dalam bentuk membayar
kompensasi jasa lingkungan yang nantinya dapat digunakan untuk
membiayai pemulihan lingkungan yang rusak atau tercemar. Di
negara-negara maju, biaya konvensasi lingkungan jauh-jauh hari sudah
dianggarkan dalam rencara pembiayaan dan pengeluaran perusahaan
Konsep pembangunan berkelanjutan yang digagas negara-negara dunia ketiga
pada Pertemuan Komite Persiapan Konferensi Tingkat Tinggi mengenai
Pembangunan Berkelanjurtan (Wold Summit on Sustainable Development),
yang berlangsung di Bali, pada bulan Mei 2002 adalah terwujudnya
pemerintah yang bertanggung jawab dan dipercaya, transparan, membuka
partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat (publik) dan menjalankan
penegakan hukum secara lebih tegas dan efektif. Gagasan ini
ditindaklanjuti pada Agenda 2l, yakni dibukanya partisipasi yang lebih
luas bagi masyarakat, tetap mengedepankan hubungan kemitraan dan peduli
terhadap masalah-masalah kemiskinan. Dalam hal ini, pemerintah harus
membatasi campur tangannya kepada rakyat tetapi bukan supaya kekuasaan
ekonomi dialihkan kepada piha swasta atau bahkan perusahaan
multinasional.
Konsep pembangunan berkelanjutan meluas dari definisi
sebelumnya sebagai isu pelestarian lingkungan menjadi berbagai isu
pembangunan yang saling bersifat komplementer. Dokumen Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam World Summit tahun 2005 menyatakan pembangunan
berkelanjutan terdiri atas tiga pilar yaitu pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial, dan pelestarian lingkungan yang saling berkaitan dan
memperkuat (interdependent and mutually reinforcing pillars of
sustainable development as economic development, social development, and
environmental protection). Ketiga aspek tersebut tidak bisa dipisahkan
satu sama lain, karena ketiganya menimbulkan hubungan sebab-akibat.
Aspek yang satu akan mengakibatkan aspek yang lainnya terpengaruh.
Istilah berkelanjutan menjadi umum pada berbagai isu pembangunan
seperti pertanian berkelanjutan, teknologi, ekonomi berkelanjutan,
politik berkelanjutan, kota berkelanjutan, produksi berkelanjutan, dan
sebagainya.
Tujuan pembangunan menyangkut tiga hal: (1) pertumbuhan, produktifitas,
dan efisiensi ekonomi (growth), (2) keadilan sosial, pemerataan dan
peluang ekonomi (equity), dan (3) kelestarian lingkungan (environmental
protection). Ketiga tujuan pembangunan tersebut tidak memiliki prinsip
atau rasionalitas yang selalu selaras sehingga seringkali ditemui
konflik tujuan dalam pembangunan. Banyak ragam rasionalitas dalam
pembangunan yang mengarahkan pilihan kebijakan pembangunan. Rasionalitas
tersebut yaitu: rasionalitas ekonomi, rasionalitas legal, rasionalitas
sosial, dan rasionalitas substantif sebagai rasionalitas yang
mempertimbangkan semua bentuk rasionalitas. Rasionalitas ekonomi
berdasarkan prinsip efisiensi, rasionalitas sosial berdasarkan nilai
sosial seperti keadilan dan pemerataan, rasionalitas lingkungan
berdasarkan nilai manfaat ekologi. Apa yang efisien secara ekonomi belum
tentu selaras dengan nilai sosial dan nilai ekologi dan sebaliknya
memprioritaskan nilai ekologi bisa saja menimbulkan konflik dengan nilai
sosial dan nilai ekonomi.
Konsep pembangunan berkelanjutan yang prinsipnya terdiri
dari hubungan yang saling mendukung antara pembangunan ekonomi, sosial
dan pelestarian lingkungan, menghadapi adanya konflik tujuan,
kepentingan dalam pengambilan kebijakan pembangunan terlihat masih
menjadi konsep yang kabur. Konsep pembangunan berkelanjutan ini lebih
merupakan gagasan normative daripada gagasan preskriptif. Konsep ini
belum memberi kejelasan tentang bagaimana menyelaraskan konflik tujuan
pembangunan yang mungkin terjadi. Pembangunan memiliki beragam prioritas
yang tidak mudah untuk disepakati. Konsep pembangunan berkelanjutan
sebagai visi pembangunan jangka panjang masih kabur untuk menjadi konsep
yang bisa diterapkan untuk mengambil keputusan pembangunan dalam jangka
pendek. Sebagai model pembangunan, konsep pembangunan berkelanjutan
masih belum bisa menjadi pegangan dalam menuntun praktek perencanaan.
Secara ideal berkelanjutannya pembangunan membutuhkan pencapaian :
1. pertama, berkelanjutan ekologis, yakni akan menjamin
berkelanjutan eksistensi bumi. Hal-hal yang perlu diupayakan antara
lain,
a. memelihara (mempertahankan) integrasi tatanan lingkungan, dan
keanekaragaman hayati;
b. memelihara integrasi tatanan lingkungan agar sistem penunjang
kehidupan bumi ini tetap terjamin;
c. memelihara keanekaragaman hayati, meliputi aspek keanekaragaman
genetika, keanekaragaman species dan keanekaragaman tatanan lingkungan.
2. Kedua, berkelanjutan ekonomi; dalam perpektif ini pembangunan
memiliki dua hal utama, yakni, berkelanjutan ekonomi makro dan ekonomi
sektoral. Berkelanjutan ekonomi makro, menjamin ekonomi secara
berkelanjutan dan mendorong efesiensi ekonomi melalui reformasi
struktural dan nasional. Berkelanjutan ekonomi sektoral untuk
mencapainya;
a. sumber daya alam dimana nilai ekonominya dapat dihitung harus
diperlakukan sebagai kapital yang “tangible” dalam rangka akunting
ekonomi;
b. koreksi terhadap harga barang dan jasa perlu diintroduksikan. Secara
prinsip harga sumber daya alam harus merefleksikan biaya
ekstraksi/pengiriman, ditambah biaya lingkungan dan biaya pemanfaatan.
3. Ketiga, berkelanjutan sosial budaya; berkelanjutan sosial budaya, meliputi:
a. stabilitas penduduk,
b. pemenuhan kebutuhan dasar manusia,
c. Mempertahankan keanekaragaman budaya dan
d. mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
4. Keempat, berkelanjutan politik; tujuan yang akan dicapai adalah,
a. respek pada human rights, kebebasan individu dan sosial untuk berpartisipasi di bidang ekonomi, sosial dan politik, dan
b. demokrasi, yakni memastikan proses demokrasi secara transparan dan bertanggung jawab.
5. Kelima, berkelanjutan pertahanan dan keamanan.
Keberlanjutan kemampuan menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dan
gangguan baik dari dalam maupun dari luar yang langsung maupun tidak
langsung yang dapat membahayakan integrasi, identitas, kelangsungan
bangsa dan negara.
Menurut Surya T. Djajadiningrat, agar proses pembangunan dapat berkelanjutan harus bertumpu pada beberapa faktor,
1. pertama, kondisi sumber daya alam, agar dapat menopang
proses pembangunan secara berkelanjutan perlu memiliki kemampuan agar
dapat berfungsi secara berkesinambungan. Sumber daya alam tersebut perlu
diolah dalam batas kemampuan pulihnya. Bila batas tersebut terlampaui,
maka sumber daya alam tidak dapat memperbaharuhi dirinya, Karena itu
pemanfaatanya perlu dilakukan secara efesien dan perlu dikembangkan
teknologi yang mampu mensubsitusi bahan substansinya.
2. Kedua, kualitas lingkungan, semakin tinggi kualitas lingkungan maka
akan semakin tinggi pula kualitas sumber daya alam yang mampu menopang
pembangunan yang berkualitas.
3. Ketiga, faktor kependudukan, merupakan unsur yang dapat
menjadi beban sekaligus dapat menjadi unsur yang menimbulkan dinamika
dalam proses pembangunan. Karena itu faktor kependudukan perlu dirubah
dari faktor yang menambah beban menjadi faktor yang dapat menjadi modal
pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan berkonsentrasi pada tiga pilar yaitu
pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan. John Elkinton menyatakan
konsep tersebut dengan P3 Concept, yaitu people, planet, and profits.
John Elkington melalui konsep ”3p” (profit, people dan planet) yang
dituangkan dalam bukunya ”Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line
of Twentieth Century Business” yang di release pada tahun 1997. Ia
berpendapat bahwa jika perusahaan ingin sustain, maka ia perlu
memperhatikan 3P, yakni, bukan cuma profit yang diburu, namun juga harus
memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif
dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
People menekankan pentingnya praktik bisnis suatu perusahaan
yang mendukung kepentingan tenaga kerja. Lebih spesifik konsep ini
melindungi kepentingan tenaga kerja dengan menentang adanya eksplorasi
yang mempekerjakan anak di bawah umur, pembayaran upah yang pantas,
lingkungan kerja yang aman dan jam kerja yang manusiawi. Bukan hanya
itu, konsep ini juga meminta perusahaan memperhatikan kesehatan dan
pendidikan bagi tenaga kerja.
Planet berarti mengelola dengan baik penggunaan energi terutama atas
sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Mengurangi hasil limbah
produksi dan mengolah kembali menjadi limbah yang aman bagi lingkungan,
mengurangi emisi CO2 ataupun pemakaian energi, merupakan praktik yang
banyak dilakukan oleh perusahaan yang telah menerapkan konsep ini. The
Body Shop, dalam Values Report 2005, mencantumkan salah satu target
inisiatif Protect Our Planet untuk tahun 2006 dengan mengurangi hingga
5% emisi CO2 dari listrik yang digunakan di gerainya. Starbucks memiliki
program Coffee and Farmer Equity (CAFE) untuk memperoleh dan mengolah
kopi dengan memperhatikan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan.
Starbucks mendefinisikan sustainability sebagai model yang layak secara
ekonomis untuk menjawab kebutuhan sosial dan lingkungan dari semua
partisipan dalam rantai pasokan dari petani sampai konsumen.
Profit di sini lebih dari sekadar keuntungan. Profit di sini
berarti menciptakan fair trade dan ethical trade dalam berbisnis. Untuk
mendapatkan keuntungan diperlukan sebuah etika. Etika yang dimaksud
yaitu tidak menekan harga serendah-rendahnya kepada supplier, ikut pada
program pemberdayaan produsen misalnya petani Starbucks dan The Body
Shop selalu mengaplikasikan fair trade – bukan mencari harga termurah –
dalam mencari bahan bakunya.
Pembangunan berkelanjutan harus diletakkan sebagai kebutuhan dan
aspirasi manusia kini dan masa depan. Karena itu hak-hak asasi manusia
seperti hak-hak ekonomi, sosial, budaya, dan hak atas pembangunan dapat
membantu memperjelas arah dan orientasi perumusan konsep pembangunan
yang berkelanjutan.
Secara lebih kongkrit tidak bisa disangkal bahwa hak manusia
atas lingkungan hidup yang sehat dan baik menjadi kebutuhan mendesak
sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hak atas pembangunan tidak lepas
dari ketentuan bahwa proses pembangunan haruslah memajukan martabat
manusia, dan tujuan pembangunan adalah demi kemajuan yang terus menerus
secara berkelanjutan untuk kesejahteraan manusia secara adil merata
Prinsip dasar pembangunan berkelanjutan meliputi,
1. pertama, pemerataan dan keadilan sosial. Dalam hal ini
pembangunan berkelanjutan harus menjamin adanya pemerataan untuk
generasi sekarang dan yang akan datang, berupa pemerataan distribusi
sumber lahan, faktor produksi dan ekonomi yang berkeseimbangan (adil),
berupa kesejahteran semua lapisan masyarakat.
2. Kedua, menghargai keaneragaman (diversity). Perlu dijaga berupa
keanegaragaman hayati dan keanegaraman budaya. Keaneragaman hayati
adalah prasyarat untuk memastikan bahwa sumber daya alam selalu tersedia
secara berkelanjutan untuk masa kini dan yang akan datang. Pemeliharaan
keaneragaman budaya akan mendorong perlakuan merata terhadap setiap
orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat
lebih dimengerti oleh masyarakat.
3. Ketiga, menggunakan pendekatan integratif. Pembangunan
berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam.
Manusia mempengaruhi alam dengan cara bermanfaat dan merusak Karena itu,
pemanfaatan harus didasarkan pada pemahaman akan kompleknya keterkaitan
antara sistem alam dan sistem sosial dengan cara-cara yang lebih
integratif dalam pelaksanaan pembangunan.
4. Keempat, perspektif jangka panjang, dalam hal ini pembangunan
berkelanjutan seringkali diabaikan, karena masyarakat cenderung menilai
masa kini lebih utama dari masa akan datang. Karena itu persepsi semacam
itu perlu dirubah.
Kerusakan dan pencemaran lingkungan, menurut J. Barros dan
J.M. Johnston erat kaitannya dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan
manusia, antara lain disebabkan:
1. pertama, kegiatan-kegiatan industri, dalam bentuk limbah, zat-zat
buangan yang berbahaya seperti logam berat, zat radio aktif dan
lain-lain.
2. Kedua, Kegiatan pertambangan, berupa terjadinya perusakan
instlasi, kebocoran, pencemaran buangan penambangan, pencemaran udara
dan rusaknya lahan bekas pertambangan.
3. Ketiga, kegiatan transportasi, berupa kepulan asap, naiknya suhu
udara kota, kebisingan kendaraan bermotor, tumpahan bahan bakar, berupa
minyak bumi dari kapal tanker.
4. Keempat, kegiatan pertanian, terutama akibat dari residu
pemakaian zat-zat kimia untuk memberantas serangga / tumbuhan
pengganggu, seperti insektisida, pestisida, herbisida, fungisida dan
juga pemakaian pupuk anorganik.
Dampak dari pencemaran dan perusakan lingkungan yang amat mencemaskan
dan menakutkan akibat aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia
secara lebih luas dapat berupa,
1. pertama, pemanasan global, telah menjadi isu
internasional yang merupakan topik hangat di berbagai negara. Dampak
dari pemanasan global adalah terjadinya perubahan iklim secara global
dan kenaikan permukaan laut.
2. Kedua, hujan asam, disebabkan karena sektor industri dan transportasi
dalam aktivitasnya menggunakan bahan bakar minyak atau batu bara yang
dapat menghasilkan gas buang ke udara. Gas buang tersebut menyebabkan
terjadinya pencemaran udara.Pencemaran udara yang berasal dari
pembakaran bahan bakar, terutama bahan bakar fosil mengakibatkan
terbentuknya asam sulfat dan asam nitrat. Asam tersebut dapat diendapkan
oleh hutan, tanaman pertanian, danau dan gedung sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan dan kematian organisme hidup
3. Ketiga, lubang ozon,ditemukan sejak tahun 1985 di
berbagai tempat di belahan bumi, seperti diAmerika Serikat dan
Antartika. Penyebab terjadinya lubang ozon adalah zat kimia semacam
kloraflurkarbon (CFC), yang merupakan zat buatan manusia yang sangat
berguna dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti untuk lemari es dan
AC.
Sebagai reaksi dari akibat pembangunan dan industrialisasi yang telah
menyebabkan berbagai kerusakan dan pencemaran lingkungan, di seluruh
dunia sedang terjadi gerakan yang disebut gerakan ekologi dalam (deep
ecology) yang dikumandangkan dan dilakukan oleh banyak aktivis
organisasi lingkungan yang berjuang berdasarkan visi untuk menyelematkan
lingkungan agar dapat berkelanjutan.
Gerakan ini merupakan antitesa dari gerakan lingkungan dangkal (shallow
ecology) yang berperilaku eksplotatif terhadap lingkungan dan
mengkambinghitamkan agama sebagai penyebab terjadinya kerusakan alam
lingkungan. Gerakan ini beranggapan bahwa bumi dengan sumber daya alam
adanya untuk kesejahteraan manusia. Karena itu, kalau manusia ingin
sukses dalam membangun peradaban melalui industrialsiasi, bumi harus
ditundukkan untuk diambil kekayaannya.
Sebagai tindak lanjut dari implementasi pembangunan
berkelanjutan, pemerintah Indonesia telah meprakarsai melakukan
Kesepakatan nasional dan Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan.
Kesepakatan nasional berisi:
1. pertama, penegasan komitmen bagi pelaksanaan dan pencapaian
pembangunan berkelanjutan sesuai dengan peraturan perundangan dan
sejalan dengan komitmen global;
2. kedua, perlunya keseimbangan yang proporsional dari tiga
pilar pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) serta
saling ketergantungan dan saling memperkuat;
3. ketiga, penanggulangan kemiskinan, perubahan pola produksi dan
konsumsi, serta pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang
berkelanjutan.
4. Keempat, peningkatan kemandirian nasional.
5. Kelima, penegasan bahwa keragaman sumber daya alam dan budaya sebagai modal pembangunan dan perekat bangsa.
6. Keenam, perlunya melanjutkan proses reformasi sebagai prakondisi dalam mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.
7. Ketujuh, penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik, pengelolaan
sumber daya alam, pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, dan
pengembangan kelembagaan merupakan dimensi utama keberhasilan
pembangunan berkelanjutan.
8. Kedelapan, perwujudan dalam pencapaian rencana
pelaksanaan pembangunaan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat,
khususnya kelompok perempuan, anak-anak, dan kaum rentan.
9. Kesembilan, perwujudan sumber daya manusia terdidik untuk dapat memahami dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan.
10. Kesepuluh, pengintegrasian prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam strategi dan program pembangunan nasional.
Agar pembangunan memungkinkan dapat berkelanjutan maka diperlukan pokok-pokok kebijaksanaan sebagai berikut,
1. pertama, pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan
sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Dengan mengindahkan kondisi
lingkungan (biogeofisik dan sosekbud) maka setiap daerah yang dibangun
harus sesuai dengan zona peruntukannya, seperti zona perkebunan,
pertanian dan lain-lain. Hal tersebut memerlukan perencanaan tata ruang
wilayah (RTRW), sehingga diharapkan akan dapat dihindari pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungannya.
2. Kedua, proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan
perlu dikendalikan melalui penerapan analisis mengenai dampak lingkungan
(AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan
proyek. Melalui studi AMDAL dapat diperkirakan dampak negatif
pembangunan terhadap lingkungan.
3. Ketiga, penanggulangan pencemaran air, udara dan tanah mengutamakan.
4. Keempat, pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan.
5. Kelima, pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan.
6. Keenam, pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan dan ketenagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup
7. Ketujuh, pengembangan hukum lingkungan yang mendorong peradilan menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan.
8. Kedelapan, Pengembangan kerja sama luar negeri.
Komentar