“Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran”

Salah satu dampak krisis ekonomi yang menjadi masalah fundamental perenomian Indonesia adalah tingginya angka pengangguran. Berbeda dengan permasalahan ekonomi makro, perhatian pemerintah pada pengangguran seringkali terpinggirkan pada upaya menjaga pertumbuhan dan stabilitas makroekonomi. Padahal, fokus kearah pencapaian target stabilitas ekonomi ternyata lambat dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Ini mengisyaratkan bahwa skenario pemulihan ekonomi belum mampu mendorong penciptaan lapangan kerja baru. Kondisi ini tercermin dari angka pengangguran (terpaksa dan sukarela) yang tetap tinggi mencapai ±27.9 juta jiwa dari total angkatan kerja pada kurun waktu 2 tahun terakhir.
Di Jawa Timur misalnya, provinsi dengan jumlah penduduk terpadat ke dua di Indonesia masalah pengangguran belum tertangani secara tuntas. Ada kecenderungan angka pengangguran semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sampai dengan tahun 2005 jumlah angkatan kerja mencapai 18.5 juta jiwa, dengan jumlah pengangguran terbuka dan setengah menganggur mencapai 2.6 juta jiwa . Tiap tahun penambahan angkatan kerja baru di Jawa Timur mencapaii 600 ribu orang sedangkan penambahan pengangguran terbuka sebesar 100 ribu orang per tahun.
Disamping masing tingginya angka pengangguran, pada pertengahan tahun 2006 Jawa Timur mengahadapi persalahan ketenagakerjaan berkaitan dengan dampak luapan Lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo. Diperkirakan dengan tutupnya beberapa industri besar, menengah dan industri kecil berpengaruh besar terhadap kenaikan angka pengangguran. Dengan semakin rumitnya permasalahan luapan lumpur yang belum terselesaikan sampai saat ini diperkirakan akan berdampak (multiplier effect) terhadap kondisi perusahaan-perusahaan di sekitar daerah bencana yang berakibat penurunan omset penjualan dan semakin tinggi biaya produksi akibat kenaikkan biaya transportasi terutama untuk produk-produk yang berorientasi ekspor. Diperkirakan dengan semakin lamanya proses penanganan luapan Lumpur lapindo akan mengakibatkan kenaikkan angka pengangguran di provinsi Jawa Timur.
Jika ditelaah, dampak pengangguran seperti kasus luapan Lapindo khususnya dan peningkatan pengangguran di Indonesia seringkali kalah bersaing dengan berita makro ekonomi. Apalagi jika terkait dengan bidang politis. Yang nampak pengambilan kebijaksanaan di bidang ketenagakerjaan ini relatif paling tertinggal di banding pencapaian bidang makro ekonomi. Jika diperhatikan pada periode kepemimpinan SBY-JK nampaknya belum ada pembicaraan dan perhatian serius untuk mengatasi peningkatan angka pengangguran. Isu pengangguran masih kalah menarik dibanding indikator pencapaian makroekonomi. Bagi pemerintah yang berkuasa saat ini, isu pengangguran dan pengentasan kemiskinan lebih menarik dijadikan sebagai isu kampanye guna meraih simpati masyarakat (lihat materi kampanye SBY), namun pada saat berkuasa isu pengangguran dan kemiskinan tidak menjadi dasar penyusunan dan pengambilan kebijakan di bidang politis dan ekonomi.
Peningkatan Kualitas Pertumbuhan
Sejalan dengan perubahan kepemimpinan nasional, satu hal yang belum terselesaikan adalah masalah pengangguran dan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Di satu sisi pemerintah sangat membanggakan pada terpenuhinya target pertumbuhan ekonomi ( mencatat pertumbuhan rata-rata 6.55 persen), namun pada sisi lain terjadi peningkatan angka pengangguran yang setara dengan pertumbuhan ekonomi.
Jika mengacu pada keadaan perekonomian sebelum krisis dimana pada setiap kenaikan satu persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 450 ribu tenaga kerja, maka pertumbuhan ekonomi pada era terakhir ini seharusnya mampu menyerap seluruh tambahan angkatan kerja baru. Bahkan, sangat mungkin dengan meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi seharusnya terjadi penciptaan lapangan kerja baru pertahunnya. Tetapi fakta menunjukkan keadaan yang berkebalikan. Target pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6.55 persen pertahunnya ternyata tidak diikuti dengan pengurangan angka pengangguran.
Target ke arah peningkatan pertumbuhan ekonomi per tahunnya secara kuantitatif memang telah tercapai, tetapi harus diakui target pencapaian itu belum mengarah pada perbaikan persoalan ekonomi seperti; pengangguran dan kemiskinan. Jangankan menyelesaikan persoalan pokok makro ekonomi, yang terjadi justru sebaliknya yaitu semakin meningkatnya angka pengangguran dan jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Dua persoalan besar menyangkut isu pengangguran dan kemiskinan menunjukan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi sebagai target makro ekonomi secara kualitas masih sangat rendah. Kenaikkan pertumbuhan ekonomi setiap kuartalnya ternyata tidak diikuti dengan penciptaan lapangan kerja. Keadaan ini juga mengindikasikan kemungkinan adanya ketidakmerataan (inequality) dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat. Secara agregat memang terjadi kenaikan pertumbuhan ekonomi, akan tetapi peningkatan tersebut tidak dinikmati seluruh masyarakat. Artinya ada sebagian kecil masyarakat/pelaku ekonomi yang menikmati hasil pembangunan sedemikian besar sedang sebagian besar masyarakat lainnya tidak memperoleh dampak kenaikkan pertumbuhan ekonomi. Wajar jika kenaikkan angka pertumbuhan ekonomi tidak diikuti dengan penciptaan lapangan kerja baru atau malah meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia.
Orientasi Kebijakan
Kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran dalam kerangka penataan ekonomi makro memang berhubungan. Target kearah peningkatan pertumbuhan ekonomi diharapkan akan dapat mengurangi angka pengangguran. Sebaliknya, penurunan pertumbuhan ekonomi akan mengurangi penyediaan lapangan kerja baru. Salah satu cara yang diupayakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah menarik investasi. Namun demikian, klaim bahwa terjadi peningkatan investasi di Indonesia ternyata belum menyentuh pada kegiatan ekonomi yang padat karya sehingga angka pengangguran semakin meningkat.
Salah satu penyebab masih tinggi angka pengangguran di tengah membaiknya iklim investasi adalah belum adanya perubahan arah kebijakan ekonomi yang komprehensif. Kebijakan ekonomi yang dianut pemerintah saat ini cenderung menfokuskan pada upaya menstabilkan indikator makroekonomi seperti; tingkat inflasi, kestabilan nilai tukar, suku bunga dan upaya mengurangi defisit anggaran belanja. Capaian kearah perbaikan indikator makroekonomi ini ternyata belum mampu menyelesaikan persoalan mendasar semenjak krisisi ekonomi yaitu gejala semakin meningkatnya angka pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Kenyataan ini menunjukkan bahwa menjaga kestabilan makroekonomi tetap harus diupayakan( sebagai sasaran antara) tetapi pencapaian tersebut harus juga diikuti dengan meningkatnya lapangan kerja baru dan penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Penekanan pada pencapaian tindikator makroekonomi seperti halnya yang dilakukan pemerintah sebelumnya ternyata juga menjadi target pemerintah SBY-JK. Meski pada awal pembentukan pemerintahan (SBY-JK) menyampaikan visi dan misi yang berbeda dalam pencapaian makro ekonomi dengan memberikan garis yang jelas untuk memberdayakan basis ekonomi rakyat, namun dalam implementasinya visi dan misi yang digariskan tersebut tidak dapat dijadikan pijakan kebijakan dan tindakan yang konkret oleh tim ekonomi kabinet SBY-JK.
Harus diakui, arah kebijakan tim ekonomi kabinet SBY-JK mengulang kebijakan pemerintah sebelumnya yang lebih menfokuskan pada pencapaian indikator makroekonomi terutama pada pencapaian sektor moneter (promosi kebijakan) ketimbang mengembangkan sektor riil. Sebaliknya, dukungan kebijakan yang membahas bagaimana mengoptimalkan anggaran untuk memberikan dorongan pada pelaku ekonomi dan penciptaan lapangan kerja baru belum menjadi fokus kebijakan. Keadaan ini menunjukkan bahwa kebijakan makroekonomi pemerintah belum mampu menciptakan stimulus membangun infrastuktur baru untuk meningkatkan taraf hidup dan menekan angka kemiskinan terutama di daerah pedesaan.
Mau tidak mau, SBY-JK pada setengah jalan pemerintahannya sudah seharusnya melakukan perubahan strategi kebijakan ekonomi secara fundamental yang mengarah pada perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi (pro growth) yang mampu mendorong peningkatan lapangan kerja baru (pro job), penurunan angka pengangguran dan pengentasan angka kemiskinan (pro poor). Sebab jika tidak, strategi yang hanya diarahkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi akan menjadi bumerang bagi pemerintahan SBY-JK.
Mendekati tahun 2009 sudah dipastikan konsentrasi pemerintahan SBY-JK pasti lebih diorientasikan untuk pemenangan pemilu mendatang. Dan jika ini adanya, maka dapat dipastikan kalaupun ada prestasi ekonomi yang dicapai (mendekati pemilu 2009) hanya terbatas pada upaya memoles indikator makro ekonomi yang lebih bernuansa kebijakan (tebar pesona), tidak pada upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, kebijakan tim ekonomi SBY-JK yang lebih memfokuskan pada stabilitas makroekonomi tetap tidak akan mampu menangani masalah pengangguran dan menanggulangi masalah kemiskinan yang saat ini menjadi masalah besar dalam menata haluan ekonomi Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Papel Auditoria Interna iha Instituisaun Estadu Timor Leste

POLITIKA FISKAL TIMOR LESTE NO REALIDADE

Kualidade de Dadus Census 2015 Entre Espektasaun Governo no Obstaklu