TANTANGAN BARU MEDIA MASSA
TANTANGAN BARU MEDIA MASSA
Oleh : Ali Sadikin[1]
A. PENDAHULUAN
“ Saya
tahu bahwa setiap surat
kabar dan saluran media sedang dalam pergumulan bagaimana merespon perubahan
ini. Ada pula
yang berjuang untuk tetap terbit…….Sukses anda sebagai sebuah industri
merupakan hal penting bagi sukses demokrasi kita.” ( Presiden Obama,
2009 ).
Perkembangan
teknologi komunikasi saat ini tumbuh dengan sangat pesat. Bahkan sifat
temuannya sangat cepat, sehingga dapat menembus beberapa generasi sekaligus.
Dahulu, sebelum teknologi komunikasi ditemukan, perlu beberapa generasi manusia
untuk menemukan sebuah teknologi baru. Tetapi saat ini, satu, dua, tiga, bahkan
empat generasi manusia dapat menikmati fasilitas teknologi yang sama. Di
negara-negara barat bahkan peran sains lebih dominan ketimbang agama.
Eksistensi agama telah terancam, keberadaannya terisolasi seiring dengan
perambahan peran hegemonik sains yang dibarengi sekulerisasi. Masa-masa ini
dapat disebut sebagai masa anomi ( kekacauan ) dalam sebuah proses penemuan
teknologi komunikasi.
Kondisi
tersebut tidak lepas dari kemajuan pemikiran manusia yang dimulai pada awal
abad ke-20. Ditandai dengan munculnya aliran pemikiran positivisme yang
dipelopori oleh August Comte ( 1798-1857 ). Aliran pemikiran ini mendominasi
wacana ilmu pengetahuan dengan menetapkan kreteria-kreteria yang harus dipenuhi
oleh ilmu-ilmu manusia maupun alam untuk dapat disebut ilmu pengetahuan yang
benar.
Maka
ilmu-ilmu tersebut harus memiliki pandangan positivisme dengan memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut. Pertama, Objektif. Teori-teori tentang semesta haruslah bebas
nilai. Kedua, Fenomenalisme. Ilmu pengetahuan hanya membicarakan tentang
semesta yang dapat diamati. Subtansi metafisis disingkirkan. Ketiga, Reduksionisme.
Semesta direduksi menjadi fakta-fakta keras yang dapat diamati. Keempat,
Naturalisme. Alam adalah objek-objek yang bergerak secara mekanis.
Metode
positivistik mengasumsikan bahwa objek-objek alam maupun manusia bergerak
secara deterministik-mekanis. Prinsip bebas nilai membuat ilmuwan seperti
robot-robot tak berperasaan. Kekayaan
pengalaman manusia menjadi fakta-fakta empiris. Semesta didesakralisasi.
Metode
ini banyak mendapat kritik dan reaksi keras dari pemikiran filsafat alam
simbol. Salah satunya adalah Ernest Cassier. Ia menyatakan manusia lebih dari
sekedar benda mati yang bergerak semata-mata berdasarkan stimulan dan respon,
rangsangan dan reaksi, sebab dan akibat ( behaviorisme ). Tapi manusia adalah
mahluk yang memiliki sulstratum simbolis dalam benaknya. Sehingga mampu
memberikan jarak antara rangsangan dan tanggapan. Distansiasi ( refleksi )
tersebut melahirkan apa yang disebut sistem-sistem simbolis. Seperti, ilmu
pemgetahuan, seni, religi dan bahasa.
Kondisi
ini membuat ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat, termasuk teknologi
telematika ( telekomunikasi, media dan informasi ). Istilah telematika bermula
dari teknologi informasi ( information teknology ) atau IT. Telematika adalah
penyebutan kelompok teknologi secara bersama-sama. Yaitu teknologi informasi
yang digunakan dimedia massa sekaligus penggunaan teknologi komunikasi untuk
mengirim informasi. Perkembangan terkini disebut teknologi multi media.
Teknologi ini yang memungkinkan terjadinya konvergensi teknologi media,
telekomunikasi dan komputer. (
Media Now, Straubhaar, 2009 ).
B.
POSTMODERN
Postmodern adalah fase perkembangan
masyarakat yang secara finansial, pengetahuan, relasi, dan semua prasyarat
sebagai manusia modern telah terlampaui. Walaupun terkadang ada sebagian masyarakat yang belum
memiliki kemampuan tersebut tetapi telah memiliki ciri-ciri postmodern.
Masyarakat postmodern ini memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang
kelebihannya itu menciptakan pola sikap dan perilaku serta pandangan-pandangan
mereka terhadap diri dan lingkungan sosial yang berbeda dengan masyarakat
modern.
Jean francois Lyotard, seorang
intelektual Perancis dalam bukunya The Postmodern Condition ( 1984 )
menyatakan, posmodernisme adalah periode dimana ketidakpercayaan pada
narasi-narasi raksasa yang universal dan ensesialis semakin gencar. Kesatuan
sejarah digeser dengan kemajemukan sejarah lokal yang tidak bisa diletakkan
dibawah satu payung narasi rakasasa. Sifat menonjol dari masyarakat postmodern
adalah :
- Memiliki pola hidup nomaden, artinya kehidupan mereka terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain dikerenakan kesibukan mereka dalam dunia usaha maupun bisnis diberbagai bidang. Orang sulit menemukan mereka pada satu tempat yang statis.
- Secara sosiologis mereka berada di titik nadir, antara struktur dan agen. Pada kondisi tertentu orang postmodern patuh pada strukturnya, namun pada sisi lain ia mengekspresikan dirinya sebagai agen yang memproduksi struktur atau paling tidak agen yang terlepas dari strukturnya. Pribadi postmodern adalah pribadi yang secara permanen ambivalensia atau mereka yang ambigu dalam pilihan-pilihan hidup mereka. Namun ini sesungguhnya adalah pilihan-pilihan hidup yang demokratis dan ekspresi kebebasan pribadi orang-orang kosmopolitan.
- Manusia postmodern sangat menyukai dan menghargai privasi, dan mempunyai kegemaran yang mereka anggap melebihi dari apa yang mereka anggap berharga dalam hidup mereka. Dengan demikian mereka mempunyai kegemaran spesifik yang aneh-aneh dan unik.
- Kehidupan masyarakat postmodern sangat menjujung kebebasan. Menjadikan mereka sangat sekuler, memiliki pemahaman tentang nilai-nilai sosial yang subjektif dan liberal. Sehingga cenderung terlihat sangat mobile pada seluruh komunitas masyarakat dan agama serta berbagai pandangan politik sekalipun. Termasuk kebutuhan mereka terhadap media massa sebagai sumber informasi.
Masyarakat
postmodern terdeteksi dan dikenal pertama di Amerika Serikat pada akhir tahun
1980-an. Di Indonesia masyarakat postmodern dideteksi ada sejak tahun 1990-an.
Sebenarnya posmodernisme tidak bisa dikonsepkan dalam satu definisi yang jelas.
Mereka sangat anti dengan
klaim kebenaran yang tunggal, tapi menghargai kebenaran-kebenaran partikular
yang plural dan memandang pluralisme kuasa secara positif. Fokus gagasan dan
gerekannya lebih spesifik pada perjuangan isu-isu kongkret, seperti kesetaraan
gender, hak konsumen, hak suku terasing, lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Masyarakat postmo inilah yang diidentifikasi dalam perkembangan media massa online secara
alami penyumbang terbesar terbentuknya
apa yang disebut jurnalisme warga (citizen jurnalism ).
C.
Dosa-dosa Media Massa
Menurut Danny Schechter, wartawan
investigasi British Journalism Review ( Juni, 2009 ). Media massa atau pers Amerika Serikat punya andil
besar atas terjadinya krisis finansial di AS. Ada hubungan dialektika antara krisis
finansial dan kegagalan pers. Media Amerika dianggap tidak mampu memberikan
peringatan dini kepada publik, pers AS juga jarang melakukan investigasi
terhadap penyimpangan dalam bisnis finansial yang sudah berlangsung dari tahun
2002 sampai 2007. Padahal pers AS menikmati keuntungan miliaran dollar AS dari
belanja iklan yang digelontorkan industri finansial dan real estate. Tapi tidak
ada sikap skeptis sedikitpun bagaimana uang itu diperoleh.
Walter Pincus, wartawan The Washington
Post, menulis otokritik di Columbia Journalism Review ( Juni, 2009 ). Mengemukakan,
manipulasi media massa mencapai tingkat tertinggi pada masa pemerintahan
Presiden Bush. Banyak berita dari kegiatan public relations. Pers AS tidak
kritis terhadap pemerintahan Bush saat membangun dukungan publik untuk
menggulingkan Saddam Hussien. Padahal selain menelan korban ribuan jiwa, perang
Irak juga menguras keuangan negara ratusan milliar dollar AS.
Industri
surat kabar AS juga mempunyai ketergantungan yang akut pada iklan. Awalnya,
pendapatan media AS ditopang dari pelanggan dan iklan. Tetapi komposisinya dari
masa ke masa terus berubah. Hasil penelitian Robert G Picard ( Newspaper
Research Journal, 2004 ) dengan gamblang mengungkapkan perubahan dramatis dalam
bisnis surat kabar AS. Pada tahun 1880 pendapatan bisnis surat kabar berasal
dari pelanggan dan iklan dengan proporsi yang sama. Pada abad ke-20 industri
surat kabar berupaya meraih jumlah pelanggan lebih besar dengan harga produk
rendah, maka pemdapatan iklan diupayakan meningkat. Lambat laun proporsi
pendapatan dari iklan menggeser pendapatan surat kabar dari pelanggan.
Penambahan modal industri surat kabar juga datang dari dana publik.
Memasuki
abad ke-21, ketergantungan industri surat kabar menjadi kian besar pada
industri periklanan. Proporsi ketergantungan terhadap pendapatan dari iklan
mencapai lebih dari 80 persen. Absolutly power absolutly corrupt berlaku. Media tidak
lagi bebas nilai dan merdeka dari para pemilik modal. Celakanya kita semua
mengetahui oligarki para pemilik modal besar dan kekuasaan negara sangat sulit
dipisahkan. Bahkan pemerintah dibanyak negara seperti tidak berdaya dan
dikendalikan oleh corporate multi nasional. Perusahaan surat
kabar berubah menjadi sangat berorientasi mengejar keuntungan dan berkompetisi
menguasai pasar.
Ketergantungan
media terhadap iklan telah lama menjadi perhatian pakar media, Robert Mc
Chesney. Dalam bukunya The Problem of The Media : US Communication Politics In
The 21 Century ( 2004 ), ia mengungkapkan bahaya komersialisasi berlebihan
terhadap jurnalisme profesional. Dalam pusaran sistem ekonomi pasar bebas yang
dianut AS, industri media menjadi salah satu industri yang penting. Namun
tekanan ekonomi dan politik neoliberal yang cenderung dominan kerap mengalahkan
pertimbangan etis yang melandasi praktik jurnalisme profesional.
Di
Indonesia sendiri, bila kita amati banyak peristiwa, media kita cenderung
pasif. Berita hanya bersifat informatif tanpa adanya investigasi mendalam. Tempo
edisi terakhir menulis profil capres dan cawapres, tapi ulasannya tidak kritis.
Hanya mengungkap hal-hal yang ringan misalnya masa kecil masing-masing
tokoh. Soal harta kekayaan para kandidat tidak diungkap secara gamblang.
Terutama harta-harta kandidat yang mantan pejabat negara atau yang masih
menjabat. Dari mana harta kekayaan SBY, Wiranto dan budiono yang notabene bukan
pengusaha. Logikanya harta yang mereka miliki sekarang murni dari
gaji sebagai pejabat atau mantan pejabat negara. Orang awam juga tahu berapa gaji seorang
jendral, menteri bahkan Presiden. Kalau dikalkulasi berapa gaji perbulan dengan
masa jabatan mereka, sepertinya tidak masuk akal dengan jumlah kekayaan yang
sekarang mereka miliki.
Soal dana
kampanye, Bawaslu jelas-jelas mengatakan ada manipulasi antara jumlah dana yang
dilaporkan ke KPU dengan realitas dilapangan. Tetapi tidak ada satupun media
yang melakukan investigasi. Kita juga melihat bagaimana debat cappres-cawapres
yang diselenggarakan KPU, pers kita hanya menjadi pelengkap saja. Hanya mampu
menayangkan atau memberitakan, tanpa peran aktif sedikitpun. Padahal media
adalah kekuatan keempat dalam sistem demokrasi. Jujur yang paling diuntungkan
dalam sistem pemilu kita adalah media. Berapa ratus
milliar dana yang masuk ke media untuk iklan capres dan cawapres. Apakah
hal tersebut yang membuat pers kita mandul dan kehilangan daya kritis.
Di
Amerika debat capres-cawapres moderatornya wartawan, dengan asumsi wartawan
adalah mata dan telinga realitas dan fakta-fakta. Tetapi di Indonesia
moderatornya akademisi. Kita tahu akademisi hanya berkutat dengan teori-teori
yang terkadang sangat jauh dengan kondisi dilapanngan. Maka tak heran kalau
acara debat monoton dan membosankan. Kalaupun ada kemajuan debat berikutnya
tidak jauh dari acara talk show yang lebih menonjolkan sisi hiburan. Bisa jadi
benar menurut pengamatan ahli lomunikasi massa, Sasa Djuarsa Sendjaya dari
Universitas Indonesia, ia mengatakan dari empat fungsi sosial media massa, yang
paling menonjol dilakukan media Indonesia adalah fungsi keempat yaitu hiburan.
Sedangkan ketiga fungsi sosial media massa yang lain kurang mendapat perhatian.
Lebih
jelas Prof. Burhan Bangin, dalam bukunya Sosiologi Komunikasi, mengatakan
keperpihakan media kepada kapitalisme. Saat ini hampir tidak ada lagi media
massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis. Dalam arti, media massa digunakan
oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin
penciptaan uang dan pelipatgandaan modal. Dengan demikian media massa tidak
bedanya dengan supermarket, pabrik kertas, pabrik uranium, dan sebagainya. Semua elemen media massa,
termasuk orang-orang media massa berfikir untuk melayani kapitalisnya. Ideologi
mereka adalah membuat media massa yang laku dimasyarakat.
Keberpihakan
media massa kepada masyarakat bersifat semu. Bentuk dari keberpihakan ini
adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat,
namun ujung-ujungnya adalah juga untuk “ menjual berita “ dan menaikkan rating
untuk kepentingan kapitalis. Kasus yang dapat dilihat dari keberpihakan seperti
ini adalah umpamanya, pemberitaan Tsunami yang melanda Aceh, Nias dan
sekitarnya dalam kemasan berita “ Indonesia Menangis “ dan semacamnya yang
terus menerus di ekspose bahkan sampai pada sisi yang telah meninggalkan hak-hak
sumber berita. Begitu pula fenomena reality show semacam bedah rumah, rezeki
nomplok dan sebagainya. Acara semacam AFI, KDI dan Indonesia Idol, yang
mengekspos kesedihan dan air mata. Acara semacam derap hukum, kriminal dan berbagai sinetron yang mengumbar impati,
simpati dan kontroversi.
Memang
slogan-slogan tentang visi media massa
yang menggaungkan keberpihakan kepada kepentingan umum masih terdengar. Namun
visi tersebut pada akhir-akhir ini tak pernah lagi menunjukkan jati dirinya.
Padahal bentuk keberpihakkan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya
sebenarnya adalah visi setiap media massa.
Secara
sistematis Paul Johnson, jurnalis dan ahli sejarah Amerika mengidentifikasi ada
7 desa-dosa media massa ( seven deadly sins jurnalism ), yaitu :
1. Distorsi informasi.
Biasanya dilakukan
wartawan dengan menambah atau mengurangi informasi, baik opini maupun fakta,
sehingga tidak lagi sesuai dengan sumbernya.
2. Dramatisasi fakta palsu.
Hal tersebut dilakukan
wartawan atau media secara naratif ( dalam bentuk kata-kata ), penyajian
fota/gambar dengan tujuan membangun citra negatif terhadap suatu pemberitaaan. Media
televisi dilakukan dengan teknik pengambilan gambar dan sound-effek yang sesuai
dengan tujuan penyampaian berita.
3. Mengganggu Privasi.
Biasanya korban selebriti
atau publik figur ( pejabat, tokoh masyarakat ) yang tengah terlibat atau
keluarganya terlibat kasus. Dalam peliputan wawancara pers mneggunakan segala
cara untuk mendapatkan informasi, menggunakan kamera pengintai atau wawancara
dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat pribadi.
4. Pembunuhan karakter.
Praktek ini dilakukan
untuk mrngeksploitasi, menggambarkan, atau menonjolkan sisi gelap narasumber,
dan mengesampingkan sisi baiknya.
5. Eksploitasi Seks.
Sering dilakukan pers dalam pemberitaan, dengan cara menempatkan berita
wanita atau hal-hal yang berbau seksual dihalaman depan dengan tulisan
bermuatan seks.
6. Meracuni Pikiran Anak-anak.
Menempatkan fibur
anak-anak pada berbagai macam produk atau isu pemberitaan.
7. Penyalahgunaan Kekuasaan.
Abuse of power biasanya
terjadi pada pemegang kontrol kebijakan editorial pemberitaan. Mereka memuat
berita untuk kepentingan bisnis atau kelompok penguasa tertentu.
Eni
Setiati, ( 2005 : 77-79 ), mengatakan ada 12 penyimpangan yang kerap dilakukan
media massa, antara lain :
1.
Memelintir bahasa menggunakan
bahasa sensional dan bombastis, teknik jurnalisme omongan, dan mengutip sember
yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2. Mencampuradukan
realita dan kepalsuan ( pseudosophy ).
3. Awal
kekuasaan Orde Baru, pemerintah menerbitakan Angkatan Bersenjata dan Berita
Yudha untuk mengobarkan propaganda kepada rakyat terhadap kelompok PKI, wartawan
dan media bungkam pada saat menerima pengarahan dan kebohongan versi militer
yang diarahkan pemerintah.
4.
Era Orde baru, redaksi media massa kerap dijuluki pers
Pancasila, kala itu jajaran pemimpin redaksi menjalankan pesan/amanat dari
Departemen Penerangan dan Mabes ABRI dalam menjalankan isi redaksionalnya.
5.
Dalam konflik elit, media menggunakan teknik jurnalisme
omongan dan jurnalisme kekerasan dlam pemberitaannya, sehingga mengacaukan
persepsi terhadap realitas kebenaran. Memeng hal tersebut mengandung nilai
berita tinggi, tetapi penggambaran kekerasan atau konflik dapat memancing emosi
masyarakat. Jangan karena untuk menyenangkan target audiens dan opini publik,
media melupakan fanatisme sosial yang mudah memicu konflik yang lebih luas.
6.
Menampilkan headline dan judul berita yang berbeda ( misleading
) dengan isi berita sehingga tidak sesuai dengan kenyataan.
7.
Melakukan dramatisasi fakta dengan tujuan mengobarkan
kebencian dan permusuhan didalam masyarakat.
8.
Mengutip pernyataan narasumber yang kontroversial, yang
bisa menimbulkan konflik terbuka.
9.
Memunculkan efek dari kata-kata bermakna ganda yang membingungkan
pembaca.
10. Tidak objektif dalam pemberitaan.
11.
Media sering dijadikan corong pengungkapan berita
tertentu untuk kepentingan pemilik modal media massa yang bersangkutan.
12. Media
terlalu menghamba terhadap selera pasar, padahal kemerdekaan sesungguhnya ada
pada mereka.
D.
TANTANGAN MEDIA MASSA
Sejarah panjang perjalanan media massa di dunia mencatat, tantangan media massa dari zaman ke zaman mengalami pasang
surut. Bagaiman kita mengetahui dalam abad pertengahan di Eropa, kehidupan
media terkungkung oleh kekuasaan pemerintah monarki yang absolut. Abad 16 adalah
abad kegelapan, dimana kekuasaan tentang kebenaran hanya di miliki oleh
segelintir orang bijaksana, dan media harus mejadi corong-corong kekuasaan
absolut tanpa kritik ( Authoritarian Theory ). Teori pers
otoriter ini berinkarnasi pasca revolusi Oktober 1917 di Uni Soviet dengan
kemasan yang berbeda tapi dengan isi yang sama. Akarnya adalah kekuasaan yang
otoriter dalam bentuk partai Komunis. Pers harus melayani dan menjadi alat
kekuasaan partai tanpa kebebasan.
Di
Indonesia, media massa jaman Orde Lama sewaktu Presiden Soekarno berkuasa,
kehidupan pers kita tumbuh didalam kungkungan sistem pers otoriter yang
terselubung. Berita tidak lagi semata-mata menarik, tetapi harus memiliki
tujuan yang sejalan dengan cita-cita bangsa untuk menyelesaikan revolusi
nasional. Di samping diberlakukanya lembaga SIT ( Surat Izin Tjetak ),
pembredelan dan pembrangusan terus berjalan terhadap penerbitan-penerbitan pers
yang tidak sejalan dengan politik pemerintah. Selama sistem demokrasi terpimpin
dibawah kekuasaan Soekarno, kebebasan pers benar-benar terpasung. Kebebasan
pers hanya merupakan angan-angan, setiap harinya surat kabar hanya memuat
pidato-pidato para pejabat. Politik seakan-akan wilayah yang hanya boleh dijamah
dengan kepala tertunduk. Jika suatu berita politik dianggap tidak menguntungkan
pemerintah, bisa saja berita tersebut dikategorikan sebagai anti revolusi,
mengancam keselamatan negara, atau subversif.
Jaman
Orde Baru dibawah kepemimpinan Jendral Soeharto, kehidupan pers Indonesia
berubah dari sistem pers otoriter terselebung menjadi sistem pers otoriter yang
terang-terangan. Pers kita terpasung dan menjadi “ Pak Turut “. Orde Baru
membuat rambu-rambu untuk membatasi kebebasan pers seperti SIUPP ( Surat Izin
Untuk Penerbitan Pers ) untuk penerbitan pers dan sensor terhadap pemberitaan
pers. Tidak cukup sampai disitu saja, pers kita juga dihantui praktek instansi
militer yang sewaktu-waktu “ meminta “ ditangguhkannya pemuatan berita hanya
melalui telepon. Jika suatu media tidak memetuhi “ permintaan “ ini, maka
pemerintah dapat mencabut SIUPP media bersangkutan. Dibawah rezim Orde Baru,
pemerintah Indonesia benar-benar menganut siaten pers otoriter yang keras
sekeras pemerintah rezim sebelumnya.
Sekarang jaman
telah berubah,” wind of the change” ( angin perubahan ) telah memberi nafas
kebebasan bagi media massa di Indonsia. Akan tetapi pers kita bukannya tidak
punya tantangan, kedepan justru tantangan media massa di Indonesia, bahkan
diseluruh penjuru dunia semakin berat dan kompleks. Ada beberapa tantangan bagi
perkembangan media massa kedepan. Kita katogerikan dalam beberapa identifikasi,
yaitu :
- Perubahan Sosial dan Budaya massa
Perubahan sosial adalah proses sosial
yang dialami oleh anggota masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan
sistem-sistem sosial, dimana tingkat kehidupan masyarakat secara suka rela atau
dipengaruhi unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya, dan
sistem sosial lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan pola-pola
kehidupan, budaya, dan sistem sosial yang baru.
Perubahan sosial terjadi ketika ada
kesediaan anggota masyarakat untuk meninggalkan unsur-unsur budaya dan nilai
sosial lama dan mulai beralih menggunakan unsur-unsur budaya dan nilai sosial
yang baru. Perubahan sosial dipandang sebagai konsep yang serba mencakup
seluruh kehidupan masyarakat baik pada tingkat individual, kelompok,
masyarakat, negara, dan dunia yang mengalami perubahan.
Hal-hal penting dalam perubahan sosial
menyangkut aspek-aspek sebagai berikut,
perubahan pola pikir masyarakat, perilaku masyarakat dan perubahan budaya
materi. Pertama, perubahan pola pikir dan sikap masyarakat menyangkut persoalan
masyarakat terhadap berbagai persoalan sosial dan budaya disekitarnya yang berakibat terhadap pemetaraan pola-pola
pikir baru yang dianut masyarakat sebagai sebuah sikap modern, bahkan
postmodern. Kedua, perubahan perilaku masyarakat menyangkut persoalan perubahan
sistem-sistem sosial, dimana masyarakat meninggalkan sistem sosial lama dan menjalankan
sistem sosial baru, seperti perubahan perilaku pengukuran kinerja suatu lembaga
atau instansi. Ketiga, perubahan budaya materi menyangkut perubahan artefak
budaya yang digunakan oleh masyarakat, seperti model pakaian, teknologi,
termasuk teknologi informasi dan sebagainya.
Dalam teori komunikasi massa, ada teori yang populer yang disebut Hypodermic
Needle Theory, yaitu kondisi yang memposisikan media massa sebagai sesuatu yang sangat kuat
pengaruhnya kepada audiens. Lebih lanjut teori ini mengasumsikan bahwa para pengelola
media dianggap lebih pintar dari audiens. Cara kerja media massa dalam
menyajikan informasi secara langsung dan kuat memberi rangsangan atau berdampak
kuat pada diri khalayak. Teori ini juga dikenal sebagai teori peluru ( bullet
theory ), artinya pesan yang dikirim media massa akan mengenai sasaran yakni
penerima pesan, seperti peluru yang mengenai sasaran.
Para
peneliti ilmu sosial di masa yang lalu sangat meyakini teori ini sangat efektif
untuk mengendalikan massa. Audiens bisa dikelabui sedemikian rupa dari apa yang
disiarkan media massa. Teori ini juga mengasumsikan media massa mempunyai
pemikiran bahwa khalayak bisa ditundukkan sedemikian rupa atau bahkan bisa
dibentuk dengan cara apapun yang dikehendaki media. Jasson dan Anne Hill (1997
), mengatakan, media massa dalam teori Jarum Hipordemik mempunyai efek langsung
“ disuntikan “kedalam ketidaksadaran audiens. Posisi media dianggap sebagai
kekuatan aktif yang powerfull dan khalayak dalam posisi pasif.
Perubahan
sosial masyarakat yang begitu cepat dan massif seperti yang dijelaskan diatas,
sangat keliru jika praktisi media massa masih bersikukuh memegang asumsi teori
hipormedik. Secara teori
Herber Blumer dan Elihu Katz dalam bukunya The Uses on Mass Communications :
Current Perspective on Grafication Reseach ( 1974 ), mengenalkan Uses and
Gratification Theory sebagai antitesa dari teori Hipordemik.
Teori ini mengatakan bahwa pengguna
media massa memainkan peran aktif untuk memilih
dan menggunakan media massa,
khalayak adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Audiens berusaha
mencari sumber media yang paling baik didalam usaha memenuhi kebutuhannya. Uses
and Gratification atau kegunaan dan kepuasan mengasumsikan pengguna mempunyai
pilihan-pilihan alternatif media mana yang dapat memuaskan kebutuhannya.
Teori
usus and gratification lebih menekankan pendekatan manusiawi dalam melihat media massa. Manusia mempunyai
otonom, wewenang, kemerdekaan untuk memperlakukan media massa. Blumer dan Katz
percaya banyak jalan dan beribu alasan bagi khalayak mempunyai kebebasan untuk
memilih, memilah dan menggunakan media
massa dan bagaimana dampaknya bagi mereka sesuai dengan kepuasan dan
kebutuhannya.
Dalam sebuah seminar tentang media dan
komunikasi di era digital yang diselenggarakan “ Australian Education
International “ Kedubes Australia di Jakarta, kamis 22 mei 2008, dan dihadiri
lebih dari 160 akademisi, pakar, perwakilan kalangan profesional. Pembicara
Prof. Lynette Sheridan Burns mengatakan “ Saat ini pemirsa tidak lagi merasa
puas hanya menerima informasi. Mereka ingin berinteraksi dan melakukan hal tersebut secara serentak (
real time ) dengan menggunakan teknologi bergerak “. Selanjumya Ketua Jurusan
Komunikasi Universitas Sidney Barat menambahkan, “ Transformasi ini berarti
kita berpindah dari zaman transmisi satu arah ke zaman baru perbincangan dua
arah dan mengubah sifat serta tujuan komunikasi itu sendiri “.
- Perkembangan Teknologi Media Massa
Belum banyak buku yang secara implisit
era terakhir sejarah evolusi teknologi informasi. Faktanya fenomena perkembangan
dibidang teknologi informasi ( komputer dan telekomunikasi ) sejak pertengahan
1980-an sangat pesatnya. Ketika sebuah
seminar internasional mengenai internet diselenggarakan di San Fransisco pada
tahun 1996, para praktisi teknologi informasi yang dahulu bekerja sama dalam
penelitian untuk memperkenalkan internet ke dunia industri pun secara jujur
mengaku bahwa mereka tidak pernah menduga perkembangan internet akan seperti
sekarang ini.
Ibarat biji pohon ajaib yang ditanam
tiba-tiba tumbuh membelah diri menjadi pohon raksasa yang tinggi menjulang. Para ahli kesulitan untuk menemukan teori yang dapat
menjelaskan semua fenomena yang terjadi sejak awal tahun 1990-an, mereka hanya
mampu menyimpulkan fakta bahwa :
a.
Tidak ada yang dapat menahan lajunya perkembangan
teknologi informasi. Keberadaanya telah menghilangkan garis-garis batas antar
negara dalam hal flow of information. Tidak ada negara yang mampu mencegah
mengalirnya informasi dari atau ke luar negara lain, karena batasan negara
tidak dikenal dalam dunia maya. Maka dunia ini sekarang disebut the global
villlage, sebuah desa global atau desa besar yang penghuninya saling kenal dan
saling menyapa satu sama lain.
b.
Kenyataan bahwa lingkungan bisnis sering berubah dan perkembangannya
sangat dinamis, hal yang paling memusingkan kepala para pimpinan dan manajemen
perusahaan. Kompetisi menjadi sangat ketat, ditambah faktor eksternal lain,
seperti politik ( demokrasi ), ekonomi ( krisis ), dan sosial budaya (
reformasi ), yang secara tidak langsung menghasilkan kebijakan dan
peraturan-peraturan baru yang harus ditaati oleh perusahaan. Contoh undang-undang ITE, RUU
Rahasia Negara yang sedang digarap oleh DPR. Secara operasional, hal ini
sangat menyulitkan para praktisi teknologi informasi dalam menyusun sistemnya.
Straubhaar ( 2009 ) dalam bukunya
Media Now, yang dikutip Kompas menunjukkan fenomena terkini dari perkembangan
media, antara lain ditandai kehadiran teknologi multimedia. Perkembangan
inovatif bidang TI dan komunikasi bukan
hanya menantang produk dan layanan yang lebih dulu ada dipasar. Teknologi ikut
mempengaruhi gaya hidup masyarakat, termasuk dalam pola konsumsi media, seperti
beralihnya pembaca surat kabar cetak ke media online. Media baru ini bukan
hanya lebih mudah diakses tetapi juga lebih murah serta cepat karena dapat
diakses lewat telepon seluler.
Dari data
yang dirilis Newspaper Association of Amerika pada tahun 2008, terjadi kenaikan
jumlah pengunjung surat kabar online 12,1 persen. Pada tahun 2007 jumlah
pengunjung surat kabar online 60 juta dan pada tahun 2008 meningkat menjadi
67,3 juta. Situs surat
kabar nama besar yang paling banyak diakses, seperti The New York Times, USA
Today, The Washington Post.
3. Krisis Finansial Global
Badai
krisis keuangan di Amerika Serikat sejak tahun 2007, berkembang menjadi krisis
ekonomi global, telah menyeret industri surat kabar negara itu menjadi
bangkrut. Stop terbit, pengurangan tenaga kerja, redesain pun terjadi. PHK
besar-besaran tidak dapat dihindarkan, dari Juni 2007 hingga Mei 2009 jumlah
karyawan yang kena PHK telah mencapai 28.177 orang.
Krisis
ekonomi juga menghantam industri periklanan, ironisnya periklanan selama ini
menjadi tulang punggung keuangan surat kabar. Pada tahun 2006 jumlah total
pendapatan iklan industri surat kabar di Amerika mencapai 49,5 miliar dolar AS,
tahun 2008 anjlok 23 persen menjadi 38 miliar dolar AS. Nilai saham perusahaan
surat kabar di bursa saham juga melorot dratis.
Media
online Vivanews tanggal 17 Maret 2009, merilis satu lagi surat kabar AS tumbang
terkena badai krisis ekonomi. Harian The Seatlle Post-Intelligencer, Senin 16
Maret 2009 mengumumkan mereka akan menerbitkan edisi cetak terakhir Selasa 17
Maret 2009 waktu setempat dan selanjutnya hanya terbit lewat internet. Surat kabar
yang berdiri 1863 dengan nama Seatlle Gazette oplah hariannya mencapai 114.000
eksemplar. Harian ini menyatakan terpaksa menghentikan peredaran edisi cetaknya
karena terus merugi sejak tahun 2000 dan kehilangan US$ 14 juta pada tahun
2008.
“ Post-Intelligencer
akan menjadi media cetak terbesar AS yang berubah ke edisi online, “ kata
pengelola dalam halaman resminya seperti yang dikutip harian The Straits Times
edisi Selasa, 17 Maret 2009. Seperti harian AS lainnya, Post-intelligencer
berjuang mengatasi kehilangan pendapatan dari iklan, penurunan sirkulasi, dan
pembaca yang beralih ke media gratis selama beberapa tahun terakhir. Kompas
edisi Minggu 28 Juni 2009, memberitakan kabar terakhir dari manajemen The
Boston Globe tengah berunding dengan serikat pekerja terkait rencana pemotongan
gaji karyawannya.
E. KONVERGENSI MEDIA SUATU KENISCAYAAN
Prof.
Sasa Djuarsa, PhD. Guru Besar tetap FISIP UI yang juga anggota Komisi Penyiaran
Indonesia ( KPI ) dalam pidato pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar mengatakan
dunia komunikasi Indonesia saat ini sedang dalam tahapan memasuki era baru
yakni era konvergensi dan media baru. Konvergensi yang menghasilkan berbagai
ragam media baru dan digital merupakan perpaduan tiga elemen sarana komunikasi
yaitu jaringan komunikasi, komputer / teknologi informasi dan isi informasi dan
media digital, atau yang lebih dikenal sebagai 3Cs yakni comunication Networks,
Computing/Information Technology, Digitized Media and Information Content.
Dengan adanya era konvergensi dan
aplikasi media baru ini akan membawa perubahan besar terhadap pola dan perilaku
komunikasi masyarakat dalam konteks kehidupan individual, sosial budaya,
ekonomi dan bisnis serta politik. Untuk itu, memasuki tahapan aplikasi
konvergensi dan media baru ini diperlukan panataan kembali kebijakan dan
regulasi komunikasi nasional.
Terobosan
perlu dilakukan dengan cara melakukan konvergensi di dua bidang, hukum dan
kelembagaan. Di bidang hukum adalah dengan mengintegrasikan berbagai produk
hukum dan peraturan yang ada, kedalam satu kesatuan produk hukun yang
komprehensif dan terpadu untuk menghilangkan adanya ketidakkonsistenan dan
ketidakselarasan regulasi. Sedangkan konvergensi di bidang kelembagaan adalah
dengan cara mengintegrasikan berbagai lembaga dan instansi negara yang mengatur
bidang komunikasi dan media menjadi satu lembaga.
Sebelum
lebih jauh, yang di maksud konvergensi harafiahnya adalah dua benda atau lebih
bertemu/bersatu di suatu titik; pemusatan pandangan mata ke suatu tempat yang
amat dekat. Secara umum konvergensi adalah penyatuan berbagai layanan dan
teknologi komunikasi serta informasi ( ICTS- Information and Comunication
technology and Service ).
Dalam
dunia media, konvergensi menjadi sesuatu yang tak terelakkan, kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi yang tak terbendung memunculkan tren baru di
dunia industri media massa. Hadir beragam media yang menggabungkan beberapa
perusahaan media menjadi satu.
Ada
beberapa kategori konvergensi yang telah dilakukan perusahaan media massa atau
yang harus dilakukan di masa-masa mendatang dalam rangka tetap menjaga
eksistensi media tersebut maupun pengembangan bisnis industri media yang lebih
maju dan mengikuti perkembangan zaman. Salah satu cara dalam mempertahankan dan
mengembangkan kekuatan dalam bisnis media adalah dengan cara melakukan
konsolidasi antar perusahaan yang prakteknya adalah konvergensi.
Tahun
2005 Philip Meyer mengeluarkan pernyataan, media cetak akan mati pada tahun
2042, tapi tidak akan terjadi jika media cetak menghentikan arogansinya dan
memberikan perhatian pada kebutuhan masyarakat khususnya anak muda, sanggah
Rupert Murdoch yang di amini oleh Noam Chomsky. Perkembangan Teknologi
informasi dan komunikasi adalah komplementer dalam upayanya semakin
memaksimalkan misi utama media massa, mencerahkan kehidupan masyarakat.
Yang perlu diubah adalah cara kerja
taken for granted. Business as usual perlu dibesut menjadi semangat kerja
menang perang dan menjadi yang pertama. Jurnalisme masa depan adalah jurnalisme
multie media. Cara bermedia harus berubah. Priodisitas yang menjadi
milik dan ciri khas media cetak perlu diterobos lewat kedalaman dan kekhasan
peliputan. News bukan laporan kejadian, tetapi breaking news in the making,
yang sekarang dimakan media elektronik, apalagi media digital, dalam media cetak
harus dikonstruksi dengan kedalaman, kelengkapan, mendudukan soal dan pengayaan
nuansa.
S T
Sularto menyampaikan strategi media massa ke depan dengan istilah strategi 3 M.
Strategi yang dikembangkan dalam upaya sinergik media cetak, media elektronik,
dan digital. Pertama, multimedia, upaya mempresentasikan informasi lewat teks,
gambar, grafik, video, animasi, dan audio berkembang menjadi bentuk kedua yakni
multichannel,adalah memaksimalkan kelebihan teknologi informasi untuk
menjangkau khalayak lebih luas dengan berbagai sambungan/kanal yang bisa
mendistribusikan informasi secara fisik dan non fisik. Ketiga, multiplatform,
adalah upaya berupa sarana atau alat untuk mengkonsumsi informasi, seperti
kertas, TV, komputer dan ponsel.
Dari
catatan yang kami peroleh dari berbagai sumber, konvergensi media massa di
Indonesia bisa kita kemukakan. Ada tiga tipe umum merger dalan industri media,
yaitu merger horisontal, merger vertikal dan conglomerate merger. Merger
horisontal terjadi ketika perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam industri
dan pasar yang sama bersatu. Merger vertikal terjadi ketika dua atau lebih
perusahaan yang berbeda tingkat produksinya bersatu dan conglomerate merger
terjadi ketika perusahaan yang berbeda jenisnya bersatu.
Selanjutnya keberhasilan perusahaan
media akan ditentukan oleh proses yang menyangkut tiga hal yaitu proses
integrasi, diversifikasi dan juga internasianalisasi. Di Indonesia, contoh yang
paling mudah untuk memahami proses integrasi vertikal adalah bagaimana femina
group yang memiliki anak-anak perusahaan yang memproduksi majalah-majalah
seperti femina, gadis, ayah bunda, dewi, FIT, Citacinta, Pesona, seventeen dan
lain-lain. Hal tersebut juga dilakukan oleh Grup Jawa Post.
Begitu juga yang terjadi pada media
penyiaran Indonesia,
bisa kita lihat proses integrasi vertikal juga terjadi. Contohnya mengelompoknya
RCTI, TPI, dan Global TV dibawah satu payung MNC ( PT. Media Nusantara Citra ).
Kelompok Grup Bakri dengan bendera PT. Bakrie Brothers membawahi ANTV dan
Lativi. Selanjutnya Grup PARA dengan mengusung PT. Trans Corpora membawahi
Trans TV dan Trans 7.
Proses selanjutnya adalah
diversifikasi, yaitu penyatuan medium-medium komunikasi dalam satu perusahaan
dengan maksud proses konsolidasi dari bermacam-macam perusahaan dalam medium
yang berbeda untuk memperkecil efek dan resesi sektor-sektor tertentu. Contohnya
adalah perusahaan TV memiliki media cetak dan rumah produksi sendiri, semacam
RCTI dan koran Seputar Indonesia.
Proses
selanjutnya adalah Internasionalisasi, yaitu perusahaan media melibatkan
kegiatan ekspor dan juga investasi asing dalam sebuah perusahaan. Sebagai
contoh adalah media asing yang menjual franchisenya ke negara lain. Misal
majalah Times, Play Boy dan sebagainya.
Ninok
Leksono redaktur harian Kompas mengatakan CEO media harus berfikir bisnis
multimedia, perilaku manajemen adalah mengubah orientasi bisnis yang semula
misalnya, di dominasi devisi media cetak, radio, televisi, juga online, ke
depan tidak bisa dipisah-pisahkan lagi. Para praktisi bisnis media
membutuhkan manajemen yang mampu mengkonvergensikan divisi bisnis medianya.
Konvergensi media dengan memanfaatkan teknologi multimedia menjadi keniscyaan
yang tidak bisa di tolak. Integrasi
antara media cetak, layar televisi, internet, dan telepon selular merupakan
peluang bisnis yang besar di masa depan.
Perilaku sumber daya manusia mulai
dari distribusi sampai redaksi harus berubah.
Untuk jurnalis new media tuntutan deadline bukan lagi menjelang koran
akan dicetak, tapi continuous deadline. Ketika mendapatkan berita jam tujuh
pagi, saat itu juga dilaporkan. Tidak perlu ke kantor atau menunggu jam
sembilan malam. Yang tak kalah pentingnya adalah kecepatan dan didukung akurasi
beritanya.
Lebih
jelas mengenai sumber daya manusia ke depan yang di butuhkan industri media
massa, menurut Seokartono. SIP. M.Si, dosen FISIP UNTAG 45 Jakarta merumuskan
sebagai berikut, :
Para jurnalis dan
praktisi media harus mampu memahami, menguasai dan berkiprah aktif dalam jenis
media baru. Juga dibutuhkan para jurnalis yang tahan mental, tanggap terhadap
lingkungan, berwawasan luas, dan sekaligus mempunyai kemampuan beradaptasi yang
tinggi terhadap perubahan yang cepat yang menjadi fenomena anomali teknologi
komunikasi dan informasi. Intinya jurnalis
new media dituntut memiliki daya adaptasi dan daya kompetisi yang tinggi.
Charles Darwin dalam teori evolusi menyatakan “ Bukan yang terkuat yang akan
menang, tetapi yang mampu dan cepat beradaptasi dialah yang akan bertahan.”
Konvergensi
media juga membuat pekerjaan rumah bagi pemerintah sebagai regulator untuk
segera membuat undang-undang agar ada
kepastian dan jaminan yang jelas bagi industri new media. Mengingat perkembangan
teknologi begitu pesatnya dan pada kenyataan regulasi selalu ketinggalan.
Persoalan konvergensi media juga begitu kompleks karena melibatkan industri
komputer, komunikasi dan media massa. Proses regulasi tidak bisa
dilakukan secara gegabah. Dibutuhkan regulasi yang bersifat integral dan tidak
berdiri sendiri-sendiri.
Idealnya,
semua aspek yang menyangkut dan terkait dengan digitalisasi dan konvergensi
dimasukkan dalam peraturan ini, selain itu juga perlu disinergikan
aturan-aturan yang terkait dengan konvergensi media , seperti UU Perlindungan
Konsumen, UU Hak Cipta, UU ITE, UU Penyiaran, UU Pokok Pers, Perpu Anti Teoris,
RUU Kebebasan Memperoleh Informasi dan RUU Rahasia Negara yang sekarang sedang
di godok DPR.
Menurut Menkominfo M Nuh, pemerintah
akan menggagas penggabungan tiga undang-undang sebagai langkah untuk menyikapi
bentuk konvergensi media saat ini. Ketiga undang-undang tersebut adalah UU
Telekomunikasi, UU Pers dan UU Penyiaran. Hal ini dilakukan karena tren di
dunia media massa
sudah mengarah ke konsep multimedia. Dahulu, UU Pers hanya terkait dengan media
cetak, dan UU Penyiaran terkait dengan masalah broadcast, namun karena adanya
konvergensi tersebut, maka di masa yang akan datang akan menjadi satu kesatuan
undang-undang.
Agar
tidak menjadi ajang perebutan kekuasaan, menurut Ir Heru Sutadi, pengamat
telematika Universitas Indonesia. Antara pemerintah, publik dan pasar, perlu
dibentuk semacam komisi independen yang membuat aturan main, menjadi pengawas
serta mendorong keterlibatan semua elemen untuk bersama menjawab persaingan
industri informasi di masa depan. Hal itu agar tidak ada regulator yang
sekaligus ikut dalam persaingan dan pihak tertentu terlalu terbebani misi yang
berat ini. Gambaran ideal dari hubungan tiga aktor konvergensi ( negara, pasar
dan masyarakat ) ini mestinya berlangsung secara harmonis dan seimbang.
Jangan sampai ada salah satu pihak yang
mendominasi yang lain, misalnya media konvergen cenderung mendominasi
masyarakat, sementara masyarakat tidak punya pilihan lain selain menerima apa
adanya tampilan-tampilan yang ada pada media. Bagaimanapun regulasi menjadi
kebutuhan mendesak agar teknologi komunikasi baru tidak menjadi instrumen
degradasi moral atau menjadi alat kekuasaan untuk menidurkan kesadaran orang
banyak. Regulasi sangat diperlukan untuk mengawal nilai-nilai kemanusiaan dalam
hubungan antar manusia itu sendiri.
Senator
Amerika Serikat, Benjamin L Cardin mengatakan, “ kita perlu menyelamatkan
komunitas surat kabar kita dan jurnalisme investigatif yang mereka lakukan.”
Akhirnya kita sepakat dengan Presiden Obama, sukses industri media adalah hal
yang penting bagi suksesnya demokrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup.
Sumadiria, AS Haris.
2008. Jurnalistik Indonesia : Menulis
Berita dan Feature. Panduan
Praktis Jurnalis Profesional. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Kusumaningrat, Hikmat. Kusumaningrat, Purnama. 2007. Jurnalistik : Teori dan Praktek. Bandung : PT REMAJA
ROSDAKARYA
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada.
Setiati, Eni, 2005. Ragam Jurnalistik
Baru dalam Pemberitaan. Strategi Wartawan Menghadapi Tugas Jurnalistik.
Yogyakarta : Penerbit Andi.
Kompas, 28 Juni 2009, hlm 1-15 “ Pelajaran
di Tengah Prahara.”
Kompas, 28 Juni 2009, hlm 11, “ Peran
Hegemoni Sains atas Agama.”
Kompas, 29 Juni 2009, hlm 7, “ 44
Tahun Kompas Strategi 3 M, Sebuah Keniscayaan.”
Kompas, 30 Juni 2009, hlm 11, “ Publik
Harus Waspada, Jangan Sampai Kontroversi UU ITE Terulang Pada RUU RN.”
Kompas, 16 Juni 2009, hlm 5,” Gelapnya
Dana Kampanye.”
Seputar Indonesia. 30 Juni 2009, hlm 2, “ Pilpres Satu Putaran.”
Tempointeraktif.com- Era Media Baru
Sudah di Depan Mata.
Koranpakoles.com-Revolusi Akbar Konvergensi Media.
Sakola-Sukron. Blogspot.com- Media
Konvergensi dan Tradisi Keaksaraan.
Radix.students-blog.undip.ac.ud-Konvergensi.
Huruf.blog.friendster.com-Konvergensi Media massa.
Dunia.vivanews.com-Satu Lagi Koran di AS Segera Tutup Usia.
Kompas Cyber Media – Konvergensi, Kata Kunci Masa Depan.
Kabarindonesia.com-Sikapi Konvergensi
Media, Pemerintah Akan Gabungkan 3 UU.
Mediaindo.co.id- Rektor UI Kukuhkan Dua guru Besar.
Aptel.depkominfo.go.id – Teknologi
Sapu Jagat Telepon Genggam Cermin Konvergensi.
www.waena.org
– Konvergensi Industri Media Cetak.
Soekartono-Bahan Ajar ( 3 ), Internet dan Online
Jurnalism In Indonesia.
Duniaesai.com – Krisis Media Dalam Perspektif Konvergensi
Telematika : Wacana Media Untuk Penyempurnaan UU Pers.
Komentar